PERJALANAN GLOBAL MANIA: Tuntutan Antar-budaya atau Penjualan Sumber Daya Lebih Banyak?
Ruang Pamer KKF, 7 – 27 September 2008
Ketika pesawat Airbus 380 pertama kali muncul hanya dalam waktu dua minggu sebelum penerbangan regular pertamanya dari Singapura ke Sydney pada tanggal 25 Oktober 2007, media massa di seluruh dunia dipenuhi berita tentang pesawat raksasa yang mampu menerbangkan 471 penumpang pada waktu bersamaan. Kapasitas yang sebenarnya mampu menampung 555 penumpang ini dikurangi dengan tujuan untuk ruang kabin pribadi nan mewah bagi penumpang Singapore Airline kelas satu/VIP. Walaupun ada pengurangan tersebut, Airbus masih dinyatakan bahwa teknologi terbarunya dikatakan sebagai teknologi hemat energi dalam hal jumlah penumpangnya. Bagaimanapun, bandara-bandara di seluruh dunia harus diperluas supaya dapat menampung besarnya pesawat yang dibuat dengan satu tujuan utama saja yaitu penambahan lebih banyak jumlah penumpang dalam ilmu penerbangan secara global.
Lebih cepat, lebih tinggi, lebih jauh: manusia secara konstan menemukan metode-metode baru untuk mengatasi hukum alam dan menemukan titik paling jauh di bumi ini. Lebih dari 500 orang dijejalkan masuk ke dalam tabung logam raksasa,yang pada waktu bersamaan mampu berlomba dengan mega-mega pada ketinggian yang luar biasa, mengalahkan tekanan udara dan temperatur. Sementara waktu, tidak sempat untuk merefleksikan kecepatan pengembangan teknis dan konsekwensinya dalam dunia yang sedang berkembang. Sementara kita masih membicarakan keuntungan atau kerugian secara ekonomi dari Airbus 380, Airbus 380 ini dan sistem transportasi massa yang baru sudah mendorong mobilitas orang-orang di seluruh dunia yang memberi pengaruh luar biasa bagi lingkungan, budaya dan seluruh masyarakat. Dengan menjamurnya bisnis trasportasi massa, lagi dan lagi budaya tradisional banyak yang menghilang, tidak lupa juga akibatnya pada perubahan iklim secara global. Pada sisi lain, pengetahuan umum tentang budaya dan lingkungan hidup sangat penting bagi pengertian diantara orang-orang dan bangsa-bangsa pada masa globalisasi, pertukaran budaya dan sosial melalui perjalanan mungkin menjadi salah satu taktik untuk mempertahankan dunia dalam kedamaian.
Setu Legi atau Hestu Ardiyanto Nugroho adalah seniman yang juga dikenal piawai membentuk obyek-obyek tiga dimensi dari barang-barang temuan, namun pameran tunggalnya di KKF ini merupakan terutama pameran dokumentasi dari proyek personalnya „are you ready?“ yang ide awalnya merupakan respon perkembangan terakhir dari transportasi modern dan dampaknya. Mengapa kita harus tergesa-gesa mengelilingi dunia? Untuk mencari tahu tentang hal ini, Setu Legi mereka sebuah pesawat dari gabungan media dan mengajak penonton untuk ikut bepergian. Pada setiap pemberhentian, instalasi tersebut dipertontonkan pada ruang publik, setiap penonton menjadi penumpang potensial. Tiket untuk perjalanan maya ini juga dibuat: Semua orang dipersilakan memilih tujuannya sendiri beserta alat transportasi kesukaannya. Harga untuk sukarelawan adalah sebuah pertukaran interaktif dari pikiran dan ide-ide tentang perjalanan dan dampaknya pada kehidupan pribadi seseorang seperti halnya pada budaya dan lingkungan global. Difoto di tempat itu juga, lalu foto-foto dari para penumpang yang baru ikut dipasang pada pendaratan berikutnya di 57 jendela yang diterangi lampu pada kanvas bergambarkan badan pesawat.
“Are you ready?” memulai penerbangan pertamanya pada bulan April 2007 di Lembaga Indonesia Prancis (LIP) di Yogyakarta, dilanjutkan ke Ruang Rupa di Jakarta lalu mendarat di Notthatbalai Festival di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada bulan Oktober instalasi ini mendapatkan kesempatannya untuk tampil pada Tazcafe di Berlin, Jerman, dilanjutkan ke Blue Tongue Café di Lismore dan Bill&George Art Lab di Sydney, Australia. Kembali ke Indonesia pada tahun 2008, pesawat tersebut mulai terbang lagi dari dusun Glagah di Kulon Progo, Yogyakarta dan setelah itu mendarat di Restoran Dragonfly di Ubud, Bali. Proyek ini pertama kali dipamerkan secara lengkap di KKF bersama dengan karya-karya lain di dalam konteks.
Satu tema yang berhubungan adalah konflik budaya dan larangan resmi yang dapat dilintasi dengan mudah hanya oleh beberapa orang dan mengalami pengalaman hubungan antar budaya yang bagi kebanyakan orang terkadang sangatlah sulit. Oleh karena itu banyak budaya masih melekat kental dengan mitos tradisi dan religinya tetapi tidak ingin tertinggal dengan apa yang disebut dengan globalisasi, yang didominasi dengan “Barat”. Tidak dapat dihindari, posisi ini mengarah pada kesalahpahaman pada dua sisi. Setu Legi memainkan hal klise ini menghasilkan situasi khusus dalam instalasinya “Social Realities” (Realitas Sosial) – yang dihadirkan dalam versi berbeda di Dresden/Jerman akhir tahun 2005. Ketika konflik Timur dan Barat ada di belakang mereka, wayang birokrat dan wayang tentara berjalan lalu lalang tanpa melihat orang-orang di belakang.
Kekontrasan pada simbol di belakang larangan batas – menjadi tidak berarti tanpa sistem wayang – seperti terlihat dalam visi utopia bahwa dunia tanpa control imigrasi dan perangko visa disebut “Satu Bumi Milik Bersama”. Wajah yang digambarkan dalam peta ini dapat menjadi wajah pada penumpang proyek “are you ready?” Jika tidak ada batas yang fiktif di sepanjang negara berkembang dan negara non berkembang: alasan utama dibalik larangan ini akan selalu menjadi masalah ekonomi yang membawa kita kembali pada issue global yang menekan – krisis banjir, krisis air, krisis energi. Dengan ledakan kebutuhan dari sumber daya alam dikarenakan meningkatnya sumber daya alam yang disebabkan perkembangan industri seluruh dunia, perang masa depan antara si miskin dan si kaya menjadi mungkin seperti perang antara manusia dan alam seperti digambarkan oleh Setu Legi karya puisinya “Patah Arang”.
Lebih banyak penerimaan dan toleransi di dalam masyarakat global yang modern dan juga rasa hormat pada alam dapat menghindarkan dari visi gelap – paling tidak ini adalah pesan dalam pameran dan proyek interaktif “are you ready?” yang akan ditampilkan. Sejumlah 382 penumpang dari seluruh dunia, sebuah Airbus 380 fiktif tidak secara penuh dipesan pada target pertama proyek ini. Oleh karena itu sedikitnya dua tujuan lagi menjadi daftar tunggu ketika waktu “check in” tiba. Disamping penumpang pesawat airbus lain yang sesungguhnya, pada penerbangan ini setiap orang akan mengetahui partner wisatanya melalui nama dan wajah – menjadi sebuah kesadaran bahwa kita semua saling bergantung melebur dalam satu pesawat bernama Dunia.