Pemutaran Film “Taste the Waste”
Kerjasama Kedai Kebun Forum (KKF) dengan Goethe Institut Jakarta
Rabu, 6 Maret 2013
Jam 19:00 WIB
Di Ruang Pertunjukan (Lt. 2) KKF
Terbuka untuk umum & GRATIS
Mencicipi Limbah (Taste the Waste)
Sutradara: Valentin Thurn, 2010, dokumenter, 92 menit, berbagai bahasa dgn subtitle Inggeris.
SINOPSIS
Sekitar setengah dari semua bahan pangan di negara industrial berakhir sebagai limbah, pada umumnya bahkan sebelum sampai di tangan konsumen. Hanya secara perlahan-lahan publik mulai menyadari dimensi penyalahgunaan itu. TASTE THE WASTE menyelidiki penyebab pemubaziran ini dan meneliti akibatnya terhadap pengadaan pangan bagi 7 miliar manusia serta dampak terhadap iklim yang tengah berubah. Pengambilan gambar dilakukan di Eropa, Afrika, Asia dan Amerika Serikat. Jika satu film dapat membawa perubahan pada kesadaran penontonnya, maka karya Valentin Thurn ini berpeluang memenuhi harapan ini.
Beberapa karyawan sebuah toserba di Perancis sedang memeriksa tanggal kadaluarsa pada produk-produk yang dijajakan. “Yogurt itu akan kadaluarsa dalam enam hari,” salah seorang menjelaskan, berarti sejak sekarang sudah tidak bisa dijual dan bahkan tidak dapat dijadikan sumbangan sekalipun. Dengan demikian, di toserba ini saja setiap tahun ada 500 sampai 600 ton bahan pangan yang dibuang. Kebijakan yang tidak berbeda berlaku di sebuah toserba di Jepang: Jika ada kiriman baru, maka barang-barang dengan tanggal kadaluarsa kedua dari belakang akan dibuang – tanpa melihat apakah masih layak konsumsi atau tidak. Hal yang sama terjadi di banyak negara lain. Peneliti di Austria menemukan: “Setiap tahun 90 juta ton bahan pangan dibuang di Uni Eropa. Jika diangkut dengan truk, iring-iringan kendaraan itu bisa mengelilingi katulistiwa!”
Seorang petani di daerah Westfalia bercerita tentang persyaratan birokratis yang ditetapkan oleh badan regulasi: Kentang, misalnya, tidak bisa masuk toserba jika berukuran terlalu besar atau kecil. Yang terkenal adalah regulasi UE (yang sementara ini sudah dibatalkan) yang mengatur lengkungan ketimun acar; regulasi tersebut berhasil diperjuangkan oleh para pedagang besar dengan alasan teknik pengemasan. Regulasi serupa juga diberlakukan dalam hal ukuran apel, wortel dan tomat. Segala sesuatu yang tidak sesuai standar akan menjadi limbah. Petani Amerika pun melaporkan peraturan serupa, yang menyebabkan lima sampai sepuluh persen dari semua produk agraris terpaksa dibuang – sampai ke tomat yang menjalani pemeriksaan warna dengan komputer. Di sebuah pasar grosir di Perancis, seorang pekerja dari Kameran terbengong-bengong melihat kiriman kacang dari negeri asalnya dimusnahkan. Kiriman kacang itu telah menempuh perjalanan 10.000 kilometer.
Perlahan-lahan timbul perlawanan. Para “penyelam tong sampah” yang malam-malam menggeledah tempat sampah toserba di negara-negara makmur melakukan aksi mereka lebih banyak karena motif ekologis daripada ekonomis. Seorang pengusaha roti di Jerman memutuskan bahwa roti yang sampai malam hari belum terjual lebih baik digunakan sebagai bahan bakar oven, daripada dibuang ke tempat sampah. Di Jepang, sisa-sisa makanan dimanfaatkan untuk produksi pakan ternak – suatu hal yang dilarang di kawasan Uni Eropa. “Pengurangan limbah bahan pangan sampai setengahnya,” demikian disebutkan dalam sisipan lain, “akan mengurangi emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang sama seperti jika satu dari dua mobil tidak digunakan.” Dan: “Dengan bahan pangan yang kita buang di Eropa dan Amerika Utara, semua orang yang kelaparan di dunia bisa kenyang tiga kali.”
Valentin Thurn mengangkat banyak persoalan di dalam filmnya; namun ia berhasil mencegah kesan terlampau padat dengan menjelaskan kaitan di antara berbagai permasalahan global, sampai ke konflik di antara petani gurem dan pengusaha besar di Kamerun, atau sampai ke peternak lebah di atas atap-atap di Manhattan dan Brooklyn. TASTE THE WASTE menghindari kata kunci “globalisasi”, namun senantiasa menyoroti permasalahan di seputarnya. Selain melaporkan hasil penelitiannya yang sering kali memprihatinkan, ia pun berkali-kali mengangkat prakarsa individual dan bercerita tentang pendekatan baru yang terorganisasi dan membangkitkan harapan dalam perjalanan menuju perubahan. Dengan demikian film ini pada akhirnya bukan memicu keputusasaan, melainkan memancing perlawanan.