German Film Club
Kerjasama Kedai Kebun Forum (KKF) dengan Goethe Institut Jakarta
Rabu, 6 November 2019, 19.00 WIB
Aula Kedai Kebun Forum (KKF)
Jl. Tirtodipuran 3, Yogyakarta
Terbuka untuk umum & gratis
mempersembahkan
SONNENALLEE
Sutradara: Leander Haußmann, 1998/99, feature film, 94 menit, bahasa Jerman dengan subtitle bahasa Inggris
Pemain: Alexander Scheer, Alexander Beyer, Robert Stadlober, Teresa Weißbach, Katharina Thalbach, Detlev Buck, Henry Hübchen
SINOPSIS
Micha dan teman-temannya tumbuh di bagian timur Sonnenallee yang pendek di Berlin yang terputus oleh tembok tepat di depan rumah mereka. Salah satu dari sedikit, penyeberangan perbatasan yang dijamin ketat antara Timur dan Barat menghubungkan ke bagian lain dari jalan. Terkadang kerabat atau teman keluarga yang tinggal di sisi lain Tembok datang dengan barang-barang dari Barat yang tidak tersedia atau bahkan dilarang di Timur (misalnya nylons, kopi asli atau musik rock Barat). Meskipun semua larangan masuk akal yang begitu dekat dengan perbatasan berimplikasi, anak-anak menikmati masa muda mereka seperti setiap remaja di dunia dengan merayakan pesta terlarang, jatuh cinta, dan memeriksa batas mereka sendiri.
Film “Sonnenallee” mencoba melihat kembali ke masa GDR – ini bukan penggambaran yang gila-gilaan, tapi yang sentimental tanpa malu-malu dan berlebihan. Ini adalah kisah orang-orang muda, musik dan tarian terlarang, dan tentang cinta khusus yang mengubah segalanya. Dalam debut sinematiknya, mantan sutradara teater Leander Haussmann mencoba menangkap suasana yang berlaku di Berlin Timur tahun 1970-an.
Pemuda 17 tahun Micha Ehrenreich hidup dengan orang tua dan saudara perempuannya di Sonnenallee, sebuah daerah di Berlin yang sebagian besar terletak di Neukölln (jadi di Berlin bagian barat), dan sedikit ujungnya di Treptow (jadi di bagian timur kota yang terpisah). Micha tinggal di bagian ujung (jadi di Timur) dan berkhayal untuk menjadi pop star terkenal. Ia tidak peduli pada politik – ia tidak setuju juga tidak menentang sistem DDR. Namun ia ingin – seperti yang dibicarakan orang-orang, jika seseorang muda dan memberontak – mengobrak-abrik seluruh organisasi kemasyarakatan ‘dari dalam’. Juga masih ada teman Michael bernama Mario yang eksistensialistis dan sahabat mereka Wuschel yang mendapat kesulitan karena piringan hitam Rolling-Stones.
Seorang paman yang tinggal di Barat menyelundupkan nylon untuk ibunya Micha, memperjuangkan perang terhadap pencemaran asbes di DDR dan pada akhir film meninggal karena kanker paru-paru. Dan seorang tetangga akhirnya menjadi mata-mata untuk Stasi – atau mungkin tidak? Michael hanya tahu, bahwa ia jatuh cinta pada Miriam: Miriam yang luar biasa tapi tak dapat diraih. Ia bersedia melakukan apa pun untuknya.
Dalam SONNENALLEE kehidupan anak muda di Berlin Timur dan di perbatasan pada tahun 1973 digambarkan secara humoris. Film ini tidak selalu setia pada fakta dan sesekali berlebihan (sebagian dengan ekstrim) dalam menyikapi masalah-masalah khas rakyat DDR dengan tujuan untuk membuat sebuah film yang bisa dipahami oleh setiap orang tanpa harus mengalaminya sendiri atau memiliki pengetahuan tentang sejarah.
Pada akhir cerita komik film dipotong oleh cuplikan-cuplikan dramatis. Kenyataan bahwa teman Michael, Mario, membiarkan dirinya ditawari pekerjaan oleh Stasi karena alasan pribadi dan eksistensial diterima Michael sebagai sebuah pukulan berat dan secara mendasar menyebabkan masalah bagi persahabatan mereka. Sekuen penutup menunjukkan, bahwa pernyataan cinta Michael kepada cinta sejatinya Miriam akhirnya berhasil.
Leander Haußmann memberikan peran-peran utama kepada pemain yang saat itu sama sekali belum dikenal, namun peran-peran pembantu diberikan kepada veteran-veteran ternama seperti Katharina Thalbach, Henry Hübchen dan Ignaz Kirchner.
Kritik dan saran:
“Film pertama dari sutradara teater Leander Haußmann menginginkan sebuah dongeng bohong dan kehormatan. Oleh karena itu film ini masuk ke bioskop pada ulang tahun ke-50 berdirinya DDR. Tentu saja film ini bisa diputar pada tanggal 9 November, bertepatan dengan hari runtuhnya tembok Berlin, namun merayakan hari kematian tidaklah baik. Dan film ini merayakan sesuatu yang sepuluh tahun yang lalu mati bersamaan dengan DDR: penyangkalan prinsip hidup – dan meskipun itu sangat kecil. Dalam SONNENALLEE ada banyak hal-hal yang subversif dan sejenisnya. Mereka memanipulasi banyak hal seperti juga Michael yang sebagai pejuang menulis di buku harian yang kemudian dipersembahkannya untuk Miriam.“ (Frankfurter Allgemeine Zeitung)
“Selamat datang ke keabsurdan, juga dikenal sebagai zone timur. Ini pertengahan tahun 70-an dan semua hal tak mungkin: Michael ingin menjadi pop star dan pacar Miriam. Anak-anak muda mendambakan perjuangan dan Rolling Stones (harga sebuah piringan hitam di pasar gelap: 250 Ostmark), orang tua mereka mendambakan telefon dan stocking nylon. Paling tidak benda yang disebutkan terakhir diselundupkan seorang paman dari Barat. Sisanya adalah keseharian yang licik: Ada meja lipat yang bandel, pesta kelas yang garing, tetangga Stasi, narkoba buatan pemerintah (“Asthmakraut dari Halle“), FDJ dan tembok. Yang disebut terakhir membentang melalui Sonnenallee – sebuah jalan yang terbagi di Berlin yang terbagi.“ (Cinema)
“Nampaknya kita memang sangat lelah untuk menyaksikan kehidupan di DDR dalam bentuk dramaturgi pertelevisian, sehingga sekarang SONNENALLEE berfungsi seperti jalur pemisah pemahaman – penuh makna ditempatkan dalam rangka 50 tahun berdirinya DDR pada tanggal 7 Oktober.” (Kölner Stadt-Anzeiger)
“‘Dari awal sampai akhir membuat muntah, tapi kami benar-benar terhibur‘, itulah akhir film ini jika diungkapkan dengan provokatif.“ (Deutsches Allgemeines Sonntagsblatt)
“Mungkin kata diktator diganti dengan monarki. DDR yang pasca-stalinistis (!) DDR memang sedikit diktator daripada monarki diletantis. Sebuah monarki-pekerja. Dengan pemerintahan dan orang-orang gila. Dan terlalu banyak kurir dengan tugas khusus. Dengan cara berbicara sendiri ada hal-hal buruk tentang penghinaan terhadap kepala negara. Para kaum terjajah pun tidak bisa sesukanya pergi ke mana mereka mau. Monarki diparodikan. Dan buku-bukunya Brussig berbau Schwejk. Schwejk dalam kediktatoran, nampaknya tak mungkin. Namun Schwejk di DDR, ternyata pas sekali. Hampir setiap orang adalah Schwejk dan Brussig dan Haußmann yang bersama-sama menulis skenario untuk SONNENALLEE telah menempatkan monumen ironis tingkat tinggi dan absurd.“ (Tagesspiegel)
Biografi sutradara:
Leander Haußmann mengambil studi di sekolah tinggi Berliner Hochschule für Schauspielkunst Ernst Busch. 1991 ia dinobatkan sebagai sutradara muda berbakat terbaik, 1995 ia mengambil alih kepemimpinan Schauspielhaus Bochum yang dipegangnya sampai tahun 2000. Untuk film bioskopnya SONNENALLE pada tahun 2000 Haussmann dan Thomas Brussig memperoleh penghargaan perak Drehbuchpreis der Bundesregierung und den Deutschen Filmpreis. Sejak saat itu kemampuan penyutradaraan teaternya direalisasikannya di Volksbühne di Berlin, di Berliner Ensemble, di Thalia-Theater di Hamburg dan di Residenz-Theater di München.