Pemutaran Film “Berantah di Afrika (Nirgendwo in Afrika)”
Kerjasama Kedai Kebun Forum (KKF) dengan Goethe Institut Jakarta
Rabu, 1 Agustus 2012
Jam 19:00 WIB
Di Ruang Pertunjukan (Lt. 2) KKF
Terbuka untuk umum & GRATIS
SINOPSIS
Berantah di Afrika (Nirgendwo in Afrika)
Sutradara: Caroline Link, 2001, 136 menit, Jerman dengan subtitle Inggeris
Pemenang OSCAR untuk Film Bahasa Asing Terbaik 2003
Sebuah keluarga Yahudi Jerman kaya beremigrasi ke Kenya pada 1938 karena takut dari perkembangan Nasionalsosialisme di tanahairnya. Sang suami menjadi pengurus sebuah perternakan di sebuah desa dan istrinya mengalami banyak kesulitan dalam menghadapi kehidupan yang sepi dan keras. Hanya putrinya bisa cepat berbaur dengan penduduk setempat. Pada saat perang dunia II sudah mulai seluruh keluarga ditahan di sebuah kamp penahanan Inggeris, tapi kemudian dibebaskan lagi. Sang suami menjadi prajurit, putrinya bersekolah di sekolah asrama dan si istri harus melanjutkan hidupnya sendiri – menemukan ketemanan dengan seorang tetangga yang juga dari Jerman.
Breslau awal 1938. Walter Redlich meminta istrinya, Jettel, dan putrinya, Regina, untuk segera meninggalkan Jerman. Keluarga Redlich adalah Yahudi dan Walter sudah beremigrasi ke Kenya. Tak lama sampai di Kenya Jettel merasakan betapa sulitnya membiasakan diri dengan kehidupan yang sepi dan keras di sana. Hanya tetangga mereka saja, Süsskind, yang telah duluan mengungsi ke sana, datang berkunjung dan membantunya dengan saran dan perbuatan. Sebaliknya, Regina putri mereka dapat dengan cepat beradaptasi dengan kehidupan barunya dan bersahabat baik dengan tukang masak merangkap pelayan, si Owuor.
Pada saat perang pecah pada 1939 Walter ditahan di kamp tahanan. Akhirnya ditetapkan bagi mereka yang bekerja bisa meninggalkan kamp tahanan. Walter yang dibebaskan itu kembali mendapatkan pekerjaan di sebuah peternakan. Pekerjaan ini diperolehnya atas usaha si istri yang tanpa sepengetahuan suaminya berselingkuh dengan seorang perwira Inggris. Regina disekolahkan di sebuah sekolah dengan asrama. Namun hubungan antara kedua suami istri itu mulai tegang. Akhirnya Walter mendaftarkan diri menjadi tentara, Jettel tinggal sendiri di peternakan dan berkencan dengan Süsskind.
Pada 9 Mei 1945 diumumkan melalui radio bahwa perang di Eropa telah usai dan Walter pulang dengan hati bahagia. Tapi ketika angkatan bersenjata memberinya dan keluarganya hak untuk kembali ke Jerman, tanah air mereka, awalnya Jettel dan Regina tidak bersedia. Mereka telah kehilangan seluruh keluarga mereka di sana. Tidak ada lagi yang membuat mereka ingin kembali ke Jerman. Tapi Walter menganggap keluarga mereka tidak akan pernah diakui benar sebagai warga Kenya. Awalnya ia ingin kembali sendiri ke Frankfurt dimana pekerjaan sebagai hakim menantinya. Namun di saat-saat akan pergi tiba-tiba ada serangan hama belalang terhadap ladang-ladang penduduk, dan Walter pun berubah pikiran dan membantu mengusir hama belalang itu. Tak lama kemudian Jettel menyerahkan padanya untuk membuat keputusan. Akhirnya mereka pun, tidak dengan keyakinan penuh, kembali ke Jerman, ke tanah air mereka.
“Berantah di Afrika” didasarkan pada buku otobiografi dengan judul yang sama karya Stefanie Zweig. Film ini adalah cerita tentang nasib hidup yang tak biasa yang dari aspek atmosfer dan psikologinya dibuat secara harmonis. Sebab emigrasi ke Afrika pasca 1933 lebih merupakan pengecualian ketimbang hal yang umum. Sudah tentu dibandingkan dengan versi bukunya skenario ditulis dengan lebih padat dan di sana-sini terdapat perbedaan.
“Nirgendwo in Afrika” juga merupakan film yang tidak biasa karena di film ini yang ditampilkan bukan Afrika yang romantis. Gernot Roll, salah satu juru kamera terbaik Jerman, menghindari teknik pengambilan gambar seperti pada kartu pos. Di film ini kita juga tidak melihat Afrika seperti dalam film besutan Sydney Pollack “Out of Africa” yang menggambarkan Kenya dengan para petani lapisan atasnya. Caroline Link melukiskan kebalikannya: keluarga pengungsi Jerman yang miskin, tanah yang kering, petani dari Inggris, yang memperkerjakan Walter adalah orang yang keras dan tidak ramah. Situasi malah lebih baik saat perang dimana Jettel dan putrinya menginap di sebuah hotel yang mewah dan kemudian keluarga mereka hidup di peternakan baru dengan kondisi yang lebih baik sampai Walter menjadi prajurit.
Alur cerita film ini berjalan cepat, setting-nya berbeda-beda dan dipilih dengan tepat, mulai dari lingkungan borjuis kelas menengah di Breslau, peternakan yang sepi hingga kerumunan orang di kota Nairobi. Hubungan ke tanah air pun ditampilkan dengan piawai. Memang bagian ini tidak terlalu berbeda dengan bukunya, tapi penggunaan secara ironis suara Goebbel, bekas menteri propaganda rezim NAZI, yang mengalun dari radio memuji si Führer (Hitler), boleh dibilang cukup pintar. Juga Regina menyadari dalam siaran off-nya bahwa ia tiba di Nairobi bertepatan dengan hari ulang tahun si Führer, yaitu pada 20 April 1938. Kutipan-kutipan pendek surat dari Jerman yang selalu berisi berita menyedihkan tentang keluarga di Jerman hingga tak ada berita lagi menjadi latar belakang dari kehidupan yang memprihatikan, tapi setidaknya terlindungi di Afrika. Yang layak dicatat dalam film ini adalah akting Juliane Köhler. Ia memerankan putri manja dari keluarga kaya yang kini harus menjalani nasibnya di Afrika. Ia tidak hidup dengan, melainkan di sisi suaminya. Perkawinannya tidak berjalan dengan baik. Dari awal film sudah terlihat bahwa cinta sang suami kepada istrinya lebih besar daripada sebaliknya. Tapi hubungan di Jerman berjalan dengan baik. Di lingkungan Afrika yang keras cinta mereka harus menghadapi beban yang berat. Tapi hubungan mereka bertahan dan ini ditunjukkan di film dengan wajar. Dengan demikian, film ini melihat nasib para emigran secara realistis dan tanpa takut akan konflik. Akhir cerita, bagaimana pasangan suami istri ini setelah 1947 dan kembali ke Jerman, tetap terbuka.