Kedai Kebun

Arts – Plants – Kitchen

Pemutaran Film “HALBMONDWAHRHEITEN” – German Film Club

German Film Club

Kerjasama Kedai Kebun Forum (KKF) dengan Goethe Institut Jakarta

Rabu, 7 Maret 2018, 19.00 WIB
Ruang Aula, Kedai Kebun Forum
Jl. Tirtodipuran 3, Yogyakarta
Terbuka untuk umum & gratis

mempersembahkan

HALBMONDWAHRHEITEN (Kebenaran di Bawah Bulan Sabit)

Sutradara: Bettina Blümner, 2012, dokumenter, 89 menit, bahasa Jerman dengan subtitles Inggris

– diikuti dengan diskusi

Pembicara:
Rokhim, RIFKA ANNISA
Ayu Diasti Rahmawati, FISIPOL UGM

SINOPSIS

“Aufbruch Neukölln“ adalah kelompok ayah Turki pertama di Berlin. Klise mengenai bapak Muslim konservatif dan otoriter tidak berlaku lagi bagi anggota yang bertemu secara berkala untuk membahas konflik keluarga yang sedang dihadapi. Keterbukaan yang mereka tunjukkan – di depan pembuat film dan juru kamera Jerman yang perempuan – memungkinkan penonton memperoleh pandangan baru yang berbeda mengenai suatu dunia yang biasanya hampir selalu tertutup.

Berlin, 5 Juni 2012: Pada suatu acara untuk mengenang Semanur S. yang dipenggal oleh suaminya yang berasal dari Turki, Kazim Erdogan bertanya: “Apa yang bisa kita lakukan?” Ia sendiri memberi jawaban: “Kita tidak boleh mendiamkan kekerasan!” Kazim, seorang ahli psikologi, telah mendirikan sebuah perkumpulan: “Aufbruch Neukölln e.V.”; di sana ada “kelompok ayah” yang secara berkala bertemu untuk membicarakan berbagai masalah yang dihadapi. Diskusi mereka selalu saja menyangkut masalah keluarga, khususnya pertengkaran dengan istri masing-masing, yang berdampak buruk terutama terhadap anak-anak mereka. Kaum laki-laki itu memperlihatkan suatu kepekaan dan kadang-kadang bahkan suatu ketidakberdayaan yang sama sekali tidak cocok dengan klise mengenai kepala keluarga Turki. Tetapi tragedi yang ada di latar belakang tetap tidak disingkirkan.

Pada pertemuan pertama mereka membahas suatu drama keluarga, mengenai seorang perempuan yang dibunuh oleh suaminya. Pembunuhan itu terjadi di dalam “perkawinan antarkerabat” yang lazim ditemui dalam masyarakat Turki – almarhumah bersepupu dengan suaminya. Kasus ini dapat dijadikan contoh: Pelaku sejak awal tidak kerasan di Jerman. Ia tidak berbahasa Jerman dengan baik, berbeda dengan istrinya yang menguasai bahasa itu dengan sempurna. Ia mendapat uang saku dari istrinya, merasa kalah segalanya, dan menyadari “bahwa pendidikan yang diperolehnya di Turki justru menjadi penghambat di sini”. Ia mengalami depresi dan ingin kembali ke kampung halamannya yang lama, tetapi istrinya berkeras untuk tetap tinggal di Jerman. Sang suami menembak mati istrinya, kemudian dirinya sendiri. Kasus tragis itu menjadi titik awal diskusi hangat yang dipandu oleh Kazim. 99 persen masalah terjadi akibat penghinaan yang dialami oleh pasangan yang datang belakangan, ujar salah satu peserta, sebab yang terpenting bagi kita adalah kehormatan – “kehormatan yang dimaknai secara keliru!” Masalah sebenarnya, orang lain menyanggah, adalah bahwa orang Jerman menuduh orang Turki ketinggalan zaman dan terlalu tradisional. Laki-laki itu menyebutkan tradisi kawin paksa sebagai contoh, yang, seperti diakui olehnya, sering disangkal oleh pihak Turki.

Saat berdiskusi, para peserta sering bergerak di antara dialektika dan sikap tidak konsisten, antara analisis dan pengelabuan diri sendiri. Tetapi yang penting adalah bahwa mereka berbicara secara terbuka dan mengakui ketidakberdayaan masing-masing melalui pertanyaan yang ditujukan kepada Kazim. Seperti makelar apartemen Cemal Düz, misalnya, yang tidak diizinkan bertemu dengan putrinya Josephine, karena ibu gadis itu takut putrinya dibawa kabur ke Turki oleh Cemal. Atau seperti Aydin Bilge: Satu dari kedua putranya pindah ke Turki lima tahun lalu, dan Aydin ingin sekali bertemu lagi dengannya. Selalu saja terungkap penderitaan kaum laki-laki akibat terhambatnya kontak dengan anak-anak mereka. Ahmet sering mengalami serangan panik dan menceritakannya pada pertemuan rutin mereka. Kadang-kadang ada juga yang muncul di kantor Kazim untuk meminta nasihat atau mengakui kesalahan – dalam pertemuan empat mata, bagaikan pengakuan dosa di gereja. Ambil contoh Hasan Düz yang oleh anak-anaknya dianggap sebagai ayah yang buruk, dan bukan tanpa alasan, seperti diakuinya sendiri. Ada banyak pengakuan seperti itu, tetapi tidak ada imam dan tidak ada mesjid, karena para laki-laki tersebut sudah lama hidup di dunia sekuler.

Tidak mengherankan bahwa Kazim letih dan merasa tenaganya terkuras habis, bahwa ia sangat sensitif menghadapi berbagai tesis yang memicu perdebatan sengit di Jerman karena main pukul rata dan yang diterbitkan oleh wali kota Heinz Buschkowski dalam bukunya “Neukölln ist überall” (Neukölln ada di mana-mana). Sebaliknya, ia sangat bersyukur atas penghargaan yang diberikan kepadanya dalam bentuk penganugerahan bintang jasa Bundesverdienstkreuz oleh Presiden Jerman dalam suatu upacara di Istana Bellevue. Pada akhirnya, Kazim Erdogan yang selalu penuh antusiasme itu sudah memikirkan langkah selanjutnya: Setelah pensiun ia akan kembali ke Turki dan mendirikan kelompok laki-laki lain di Özdere di tepi Laut Aegea.

Bettina Blümner

Lahir 1975 di Düsseldorf. 1999 sampai 2004 kuliah di Filmakademie Baden-Württemberg. 2004 kuliah di “Escuela International de Cine y TV” di Kuba. Film durasi panjangnya yang pertama, PRINZESSINENBAD, meraih penghargaan Bundesfilmpreis sebagai Film Dokumenter Terbaik pada tahun 2008.

Info lebih lanjut hubungi Uniph 085725809139

About Author