Kedai Kebun

Arts – Plants – Kitchen

Pemutaran Film “Das Wunder von Bern” – German Film Club

German Film Club

Kerjasama Kedai Kebun Forum (KKF) dengan Goethe Institut Jakarta

Rabu, 4 Juli 2018, 19.00 WIB
Ruang Aula, Kedai Kebun Forum
Jl. Tirtodipuran 3, Yogyakarta
Terbuka untuk umum & gratis

mempersembahkan

Das Wunder von Bern (Keajaiban di Kota Bern)

Sutradara: Sönke Wortmann, 2003, feature film, 117 menit, bahasa Jerman dengan subtitles Inggris
Pemain: Louis Klamroth, Peter Lohmeyer, Johanna Gastdorf, Peter Franke

SINOPSIS

Tahun 1954 di daerah industri Ruhr yang kelabu dan gersang. Seorang tahanan perang baru pulang dari Rusia. Putranya bertemu pertama kali dengan bapak yang asing bagi dia. Tapi mereka punya bersamaan: entusiasme terhadap sepak bola. Sementara tim nasional Jerman Barat dan Timur terpaksa main bersama di piala dunia sepak bola yg berlangsung di ibukota Swiss. Kemenangan tak terduga tim nasional dua Jerman itu menjadi juga alasan untuk menyatukan kembali keluarga yang telah dipecah oleh perang.

Tempat dan Waktu: Daerah Ruhrgebiet (sebuah daerah industri) yang kelabu dan gersang pada tahun 1954. Sebuah keluarga mendapatkan kabar bahwa sang suami akan kembali dari Rusia. Seluruh keluarga menantinya di sebuah stasiun kereta di daerah perbatasan, akan tetapi setelah mereka bertemu ternyata sang ayah hampir tidak mengenali keluarganya lagi dan baru melihat putranya, Matthias, untuk kali pertama pada saat itu. Ia baru terlihat lagi setelah sembilan bulan, baru kembali dari liburannya selama perang. Sang ayah mengalami kesulitan untuk hidup biasa di tempat kelahirannya. Putranya yang tertua adalah pengikut setia partai KPD yang kemudian pergi ke Berlin Timur setelah keadaan di rumah menjadi lebih panas. Sang ayah juga keberatan jika si ibu dan puteri mereka bekerja di sebuah kedai bir, apalagi jika puterinya itu menari bugil dengan para tentara pendudukan.

Sementara itu, di kota Bern tengah berlangsung persiapan menjelang diadakannya pesta kejuaraan sepak bola dunia. Harian “Süddeutsche Zeitung” mengirimkan seorang jurnalis muda yang baru saja menikah dan tentu saja mengurungkan bulan madunya demi event akbar tersebut. Sang pelatih, Herberger, membentuk timnya. Si kecil Matthias sangat mengagumi pemain muda Helmut Rahn dan membawakan tasnya. Setelah terjadi pertentangan-pertentangan sengit di rumah tersebut, sang ayah mulai mengadakan pembicaraan dengan sang istri dan pendeta setempat yang pada akhirnya disimpulkan bahwa sang ayah harus mengubah cara berpikirnya. Ia kemudian meminjam mobil pendeta itu secara mengagetkan untuk mengajak Matthias menyaksikan partai final di kota Bern. Sebuah perjalanan tanpa rencana. Helmut Rahn, yang pada pertandingan sebelumnya belum pernah diturunkan, tercantum pula sebagai daftar pemain yang akan diturunkan pada partai penentuan tersebut. Matthias datang terlambat dan baru sampai beberapa saat sebelum pertandingan usai. Ia memnyelusup masuk ke dalam stadion dan tiba-tiba mereka bertemu di sana. Rahn berhasil membuat gol penentu. Pada saat sang tim juara kembali ke Jerman, Matthias dan ayahnya juga ikut bersama mereka.

Apakah masih ingat akhir cerita film karya Fassbinder “Die Ehe der Maria Braun”? Kita seperti berada di bulan Juli dan ikut mengalami berita di radio yang memberitakan bagaimana Jerman menjadi juara dunia. Pada saat itu Maria seperti terbang ke udara karena gembiranya. Akhir dari sebuah karir pasca perang Jerman. Wortmann adalah seorang yang sederhana, walaupun ia ingin membuat film yang bukan sekedar film sepakbola semata. Di balik judul film ini tersembunyi dua buah film yang saling berhubungan. Sönke Wortmann, yang selama ini dikenal sebagai seorang sutradara film komedi sukses (“Kleine Haie” dan “Der bewegte Mann”) dan juga sebagai sutradara film potret waktu dan tempat yang kritis (“Der Campus” dan “St.Pauli Nacht”) secara jelas tidak hanya berniat untuk menyajikan momen piala dunia 1954, akan tetapi lebih dari itu tentang potret waktu dan daerah: tahun 1954 di Ruhrpott, sebuah daerah yang baru memulai masa keajaiban ekonomi. Tuntutan-tuntutannya juga masih sederhana; antara lain hampir tidak ada mobil di jalan-jalan, beternak merpati secara klasik itu penting, wanita harus bekerja, dan orang harus bersedia untuk membayar seharga 50 Pfennig (sen) hanya untuk bisa menyaksikan pertandingan babak final di televisi di sebuah kedai bir kecil karena di rumah masih belum ada televisi.

Penggambaran waktu tersebut tepat sekali dan juga konfrontasi tokoh yang baru muncul setelah sekian lama menghilang dengan keluarganya yang selama bertahun-tahun harus bertahan hidup tanpa sang ayah dalam keluarga, yang kemudian gaya hidup mereka dianggap aneh oleh sang ayah, itu semua sangat sesuai dengan situasi pada saat itu. Slogan-slogan disiplin dan taat yang senantiasa diceramahi oleh sang ayah adalah juga merupakan kenangan-kenangan akan masa sebelum tahun 1945. Juga ikatan religi sang ayah dan tamparan terhadap puteranya, ketika sang ayah mengetahui bahwa Matthias telah menghadiahkan pemain idolanya Rahn sebuah lilin, adalah dapat dipercaya. Adegan seperti itu tidak mungkin dapat kita temukan pada film-film dari lingkungan atlit dan dan pekerja. Hubungan antara cerita Ruhrpott secara pribadi dengan pertandingan partai final melalui sebuah perjalanan ke kota Bern yang diatur secara tiba-tiba adalah suatu hal yang agak aneh karena pada masa itu, sebuah perjalanan seperti itu bagi seorang buruh sangat mahal dan tidak terjangkau. Cerita paralel film ini yang bergelut di seputar bola disajikan dengan cara yang mengherankan dan agak sederhana. Dunia para pesepakbola yang hambar tapi tulus di mana juga terkadang muncul rasa solidaritas bisa dirasakan dalam adegan latihan sebelum menghadapi kejuaraan dunia dan juga di pertandingan babak penyisihan.

Saat-saat penting yang sangat menentukan di akhir pertandingan disajikan dengan sedikit lebih terperinci, (di mana penentuan para pemainnya lebih didasarkan pada kemampuan bermain sepakbolanya ketimbang kemampuan akting para pemainnya). Hal ini memang tidak terlalu dramatis, akan tetapi di tampilkan dengan cukup terampil, juga pada saat penyesuaian dengan kata-kata orisinil pembawa berita radio terkenal jurnalis Zimmermann. Pesan politik dari film ini adalah: kemenangan pada tanggal 4 Juli 1954 adalah paling tidak momen kelahiran kembali semangat nasionalisme yang sehat. Kita adalah orang-orang yang masih berarti …..

Untuk seorang yang kenal sepakbola, kurangnya adegan-adegan sepakbola sebagai olah raga cukup mengagetkan. Ada kesan gambar-gambar yang ditampilkan lebih diarahkan pada gambar-gambar daerah industri Ruhr yang kelabu dan kesulitan figur-figur yang kembali dari perang untuk membiasakan diri dengan masyarakat pasca perang. Pendesainannya pun sangat detil, bahkan terkesan si sutradara menyukai detil ini sehingga terkesan lebih diberi bobot ketimbang tokoh-tokohnya sendiri. Ini pula yang menjadi masalah film ini. Penghubungan antara sejarah jaman dan olah raga tidak selalu berhasil. Juga karakter anggota keluarga terlalu datar. Hanya Peter Lohmeyer sebagai tokoh yang kembali ke rumah (Jerman) dan Peter Franke yang bermain sebagai pelatih timnas Jerman, Herberger, yang tenang dan yakin menampilkan karakter yang kuat.

Info lebih lanjut sila hubungi Uniph 085725809139

About Author