Pembukaan:
Senin, 12 Januari 2009
Jam 19:30 WIB
Di Ruang Pamer Kedai Kebun Forum (KKF)
rz-ruang-pam-dani-5.JPG rz-crop-bersulang-untuk-leluhuracrylic-on-canvas-180×1802009.JPG rz-crop-find-the-budha-in-you-acrylic-on-canvas-145×145-2008.JPG rz-ruang-pam-dani-1.JPG
Pameran:
Berlangsung dari 12 – 21 Januari 2009
Buka setiap hari, jam 11:00 – 21:00
(Kecuali hari Selasa, karena KKF libur )
Mengembalikan Seni Lukis Pada Ke-kriya-annya.
Menjamurnya perupa muda dengan karya yang cantik dan harga melebihi lukisan Soedjojono dan Hendra Goenawan menyisakan banyak pertanyaan, salah satunya adalah: apa yang melatar belakangi proses penciptaan karya mereka?
Untuk menjawab itu, inilah cerita dari kunjungan ke studio Dani Agus Yuniarto (28 th) beberapa waktu yang lalu. Setelah sekian kali datang berkunjung ke studio yang katanya banyak kuntilanak dan pocongnya itu, perhatian saya tertuju pada garis-garis kecil yang memenuhi bidang kanvasnya. Garis lembut yang dirangkai tumpuk menumpuk membentuk volume dan gradasi gelap ke terang. Cara kerjanya sama dengan cara saya melukis. Mulai dari bidang gelap dan kemudian beralih pada warna-warna terang. Teknik ini sebenarnya adalah teknik yang diipelajari dari teknik cukil kayu. Teknik ini memungkinkan kita untuk mendapatkan warna terang yang kontras, seperti warna-warna pada lukisan Beckman pelukis ekspresionis Jerman, merah, kuning, dan warna primer lainnya.
Yang menarik dari karya Dani adalah garisnya. Garis kecil dan lembut seperti jembut (istilah Jawa untuk rambut kelamin). Untuk menyelesaikan satu bidang kecil dia bisa menghabiskan waktu seharian. Garis serupa jembut itulah yang “memperlambat” proses kerjanya. Tema lukisan-lukisan Dani adalah masalah pribadinya: ketakutan, cinta, dan lain sebagainya.
Ketika melihat karya perupa-perupa belakangan ini bisa jadi tema tidak terlalu penting. Kita sering terjebak pada pertanyaan tentang narasi-narasi besar. Tema-tema itu tidak pernah menjadi perhatian mereka. Mereka tertarik pada sesuatu yang bersifat permukaan, seperti gambar di sampul kaset, gambar komik, gambar kaos, dan tato. Mereka tidak tertarik pada isi dari gambar itu. Yang menarik mereka adalah apa yang terlihat bukan yang melatar belakanginya. Mereka adalah generasi yang terbanjiri oleh informasi dari segala penjuru sehingga tidak lagi sempat menelaah ulang dan mengendapkan. Apa yang mereka terima kemudian diwujudkan kembali dalam karya-karya mereka.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang hanya menerima informasi terbatas, ekstase-nya terletak pada pencarian pada yang yang tak nampak. Apa yang tak nampak itu kemudian muncul dalam karya-karya mereka sebagai bagian dari strategi penciptaan. Hingga munculah karya dengan tema dan narasi yang kuat. Sebagai tandingan dari monopoli informasi dari negara. Pada pelukis muda, menjabarkan informasi yang mereka peroleh tidaklah penting. Mereka beranggapan bahwa para penikmat karya mereka adalah orang yang juga melek informasi. Memang penikmat pertama karya para seniman muda itu adalah teman-teman mereka sendiri, yang menggunakan karya mereka dalam kaos dan sampul album musik. Perkara sekarang diburu-buru oleh para kolektor, seperti massa memburu maling ayam, adalah perkara lain. Di luar perkiraan mereka.
Cara paling tepat untuk menilai karya mereka adalah dengan membandingkannya dengan seni kriya. Seni kriya Indonesia kuno – missal kriya Majapahit, bukan seperti dilihat di kampus-kampus seni saat ini. Seni kriya Indonesia kuno adalah “puncak” dari semua pencanggihan teknik dan media. Kita akan bengong terdiam ketika melihat betapa halus, rumit, dan detailnya karya kriya itu. Tidak akan ada kesempatan untuk bertanya tentang “tujuan-tujuan politis” pembuatannya. Terpesona dan diam. Pengalaman serupa saya alami ketika melihat karya Dani, tercekat dengan teknik garisnya kemudian abai akan alasan-alasan pembuatan karya itu. Bagi saya menikmati “permukaan” jelas lebih mengasyikan daripada sibuk mencari kandungan atau narasi besar yang jelas tidak akan ditemukan.
Pembanding terdekat pada karya anak muda ini adalah tekstil bermotif batik, bukan filosofi motif batik . Tekstil bermotif batik bisa mewakili bagaimana karya-karya yang terilhami oleh majalah Juxtapoz, terbitan San Fransisco, California, itu hadir. Dalam membuat tekstil tersebut, yang pertama adalah membayangkan sebuah semesta yang nantinya kan dipenuhi dengan isian nan rumit. Tidak ada bagian kosong yang dibiarkan menganggur tanpa terisi. Jadi “membatik” dalam konteks disain visual adalah perang melawan ke-lekas-an, segala sesuatu yang serba cepat dan tergesa, sebuah meditasi kotemporer. Dan proses itulah yang sedang dilakukan Dani dan teman-temannya. Bukan memberontak atau melawan lewat karya, tapi acuh tak acuh, sibuk dalam dunia informasi nan cepat yang mereka endapkan dalam lukisan rumit yang butuh kesabaran dan ketekunan ala pembatik dan perajin keris.
Selamat menikmati garis dan warna, lupakanlah kandungan-kandungan kritis itu. Lukisan sekarang adalah karya rumit teknik bukan permainan tema dan narasi, jadi nikmatilah dengan cara itu. Jangan bermimpi yang tidak-tidak, saya yakin seratus persen Anda pasti kecewa. Selamat datang kembali seni kriya Indonesia yang mengejawantah lewat karya para pelukis muda ini. Terima kasih karena kalian telah mengangkat kembali seni kriya dari keterpurukannya.
Agung Kurniawan, Direktur Artistik KKF
Semoga Sukses Anak Muda!
Penampilan ruang pamer Kedai Kebun Forum (KKF) Yogyakarta sejak 12 hingga 21 Januari 2008 nanti, nampak beda dibanding penampilannya pada bulan-bulan sebelumnya. Kali ini di dinding ruang pamer kecil yang berukuran 6 x 9 x 3,25 meter ini tergantung 8 karya lukis bermedia cat akrilik di atas kanvas, dengan ukuran beragam. Seniman yang sedang berpameran adalah Danney Junerto, seniman muda kelahiran Solo, tahun 1980. Bulan-bulan sebelumnya, di ruang ini – yang lebih banyak dikenal sebagai ruang pajang hasil-hasil proses eksperimen dari workshop-workshop seni yang digelar oleh KKF – terpasang karya-karya drawing dan grafis yang dibuat di atas kertas.
Tahun 2008 adalah masa dimana saya mengenal anak muda ini secara lebih dekat dan akrab. Dalam setiap pertemuan, terutama pada hari Kamis, hari sucinya untuk buka praktek ramal di resto KKF, selalu saja ada kabar baru yang melengkapi ingatan saya tentang kisah hidupnya, dunia anak muda yang penuh warna. Dia cukup popular di kalangan teman-temannya, ringan tangan, terutama untuk kegiatan yang berbau gambar-menggambar dinding. Dia ternyata juga anak muda yang rajin dan tidak pilih-pilih pekerjaan. Pekerjaannya antara lain ilustrator Buletin Kombinasi (Komunitas membangun jaringan informasi) dan buku-buku panduan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution yang berbasis di Yogyakarta. Selain itu, dia juga ilustrator sampul macam-macam buku, seperti novel chicklit dan sesekali menerima pekerjaan untuk mendisain ruang dalam sebuah toko atau rumah makan. Kepada saya, dia menyebut istilah “pelacur” untuk menggambarkan dirinya sehari-hari untuk survive.
Pameran ini, adalah pameran tunggalnya yang kedua. Untuk itu selama 3 bulan, dia pamit tidak praktek meramal untuk menyiapkan diri, melukis.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2007 jumlah penduduk golongan setengah penganggur menurut pendidikan (SD s.d Universitas) dan jenis kelamin adalah 30.370.179 orang. Sedangkan jumlah pengangguran menurut usia antara 15 – 44 th adalah 9.471.772 orang. Data ini diperoleh dari situs resmi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, www.nakertrans.go.id.
Konsep pengangguran dan setengah pengangguran merujuk pada dua situasi yang berbeda. BPS dalam buku Pengembangan Metode Penghitungan Pengangguran mendefinisikan pengangguran merujuk pada keadaan seseorang yang menghadapi ketiadaan pekerjaan. Setengah pengangguran merujuk pada situasi pekerjaan yang dilakukan seseorang dengan memperhatikan keterampilan dan pengalaman bekerja orang yang bersangkutan tidak memenuhi aturan-aturan atau norma-norma pekerjaan yang telah ditetapkan… (Kompas Cybermedia, Selasa, 15 Mei 2001)
Sehingga dari pengertian tentang pengangguran di atas, Danney adalah 1 dari 30 jutaan penduduk Indonesia yang bisa dikelompokkan ke dalam golongan setengah pengganggur atau golongan pengangguran tidak kentara.
Secara semena-mena saya menggunakan pendekatan ketenagakerjaan untuk mengerti mengapa, anak muda ini musti memberi judul pamerannya “Belajar Berani dari Takut”. Saya nyaris tidak pernah percaya dengan kata-kata seniman, pada akhirnya cenderung mengabaikan penjelasan-penjelasan, yang kadang-kadang membuat saya dengan rela menambah tanda plus dibelakang huruf ‘F’ yang saya sematkan pada suatu karya. Saya orang yang gampang tergoda dengan bujuk rayu seniman.
Danney pernah mengenyam pendidikan seni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Fakultas Seni Rupa, Program Studi Seni Grafis. Sejauh saya mengenal dirinya dan pada hari-hari menjelang tanda tangan kontrak berpameran antara KKF dengan dia, tidak ada sekecappun kata-kata dari dunia seni grafis yang keluar dari mulutnya. Walaupun pada bulan Desember 2008 lalu, persis sebelum waktunya, di KKF berlangsung pameran karya Surya Wirawan yang beberapa karyanya menggunakan teknik grafis. Di Indonesia seni grafis murni memang agak dijauhi pada tahun-tahun terakhir ini, sebagai gantinya seni grafis hasil rekayasa digital tampak tampil lebih seksi. Ketidaktertarikan Danney untuk bereksperimen dengan medium seni grafis yang menjadi mayornya pada masa belajarnya, membuat saya berpikir ulang dan mengambil jarak sejauh yang bisa saya lakukan, agar saya bisa lebih mengerti siapa anak muda ini dan apa yang sedang menjadi pikirannya.
Melukis di atas kanvas adalah jenis kerja seni yang sedang digandrungi anak-anak muda Yogyakarta 3 tahun terakhir. Kegandrungan ini dipicu oleh tingginya permintaan akan produk seni jenis ini yang dipasarkan lewat pameran-pameran dan pasar lelang yang semakin sering diadakan. Alhasil situasi ini juga membuat produsennya ikut terpengaruh dan harus kejar setoran karena jadual pameran yang memadat. Beberapa diantara mereka tidak lagi sempat disko-disko atau berkunjung ke pesta-pesta kecil yang memutar lagu rancak dari laptop temannya. Mereka menenggelamkan diri melukis di studio yang sudah pindah ke rumah yang lebih besar. Mereka telah menjadi anak muda yang berpenghasilan setingkat direktur bank yang bekerja tanpa dasi dan patuh pada jam kerja. Usia mereka sepantaran dengan Danney tetapi secara karier dan jumlah tabungan, mereka jauh melampauinya. Secara teknis harus diakui, entah apa metodenya, ISI telah menghasilkan seniman-seniman yang piawai secara teknis. Anak-anak muda itu sungguh berbakat dan layak mendapat pujian.
Eksperimentasi teknis dan menguji gagasan-gagasan menjadi pekerjaan yang memboroskan waktu. Kalaupun ada, gagasan dan pemikiran digunakan sebagai alat promosi dan para ahli seni adalah model iklannya. Dari sisi dunia konsumsi situasi seperti yang sedang terjadi sekarang adalah wajar. Namun, jika dalam dunia konsumsi ada yang disebut lembaga konsumen, dalam dunia wartawan ada etika jurnalisme, dalam dunia dokter ada etika kedokteran, adakah etika di dunia seni?
Di tengah suasana gegap gempita pasar seni rupa Indonesia, tersebutlah seorang pemuda tanpa pekerjaan tetap, sedang berusaha merintis karier. Dia harus berjuang di arena pasar tenaga kerja yang melimpah di negeri ini. Pertarungan seseorang dalam menyelamatkan diri dari kerasnya persaingan, pada kenyataannya memang tidak sepenuhnya bisa mengandalkan pendidikan apalagi bakat semata. Tetapi pendidikan dan bakat memang salah satu modal untuk survive, demikian yang dilakukan Danney dengan mengambil kerja-kerja serabutan selama ini. Bisa jadi ‘ketakutan’ yang dimaksud Danney adalah bentangan kenyataan-kenyataan dan banyaknya pilihan berserak tak beraturan di depannya. Sekaligus iming-iming menjadi kaya agar mampu membeli sepatu Camel atau Dr Martin. “Saya senang sekali, waktu bisa membelikan Ibu sepeda dengan uang hasil menggambar”, kata Danney.
Nama asli Danney Junerto adalah Dani Agus Yuniarso. Apakah selain modal bakat dan ketabahannya, mengubah nama juga salah satu strategi survival yang sedang dijalaninya?. Seperti Sdr. Ahmad Ashadi yang mengubah nama menjadi Dorce Gamalama, atau Mas Samijan yang mengubah nama menjadi Ian Kasela, dan Jeng Sudarwati menjadi Titi Puspa.
Danney… teruskan perjuanganmu… semoga sukses anak muda!
(Yustina W. Neni/Direktur KKF)