Kedai Kebun

Arts – Plants – Kitchen

Pameran Seni Rupa “Tato Tolak Bala: Perlindungan Ampuh Warga Setempat” oleh Edita Atmaja, Kurator LIR

“Tato Tolak Bala: Perlindungan Ampuh Warga Setempat”

Pameran Tunggal – Edita Atmaja

Curated by LIR*

Pengantar

Di salah satu sudut kota Jakarta, sebuah area perumahan mewah menawarkan fasilitas keamanan 24 jam, pengawasan CCTV di setiap sudutnya, pemeriksaan kartu identitas, dan sistem pengaman tambahan untuk saat-saat genting: lingkungan yang dijamin bebas banjir, akses langsung ke bandara dengan jarak tempuh 15 menit saja, hingga akses keluar dari arah laut jika diperlukan. Pagar-pagar yang tinggi dengan sistem gerbang utama tunggal menjadikan perumahan semacam ini tertutup bagi orang luar sekaligus menyembunyikan rapat-rapat apapun yang terjadi di dalamnya. Terdapat kontrol dan pengawasan penuh atas arus keluar masuk tamu. Bagi para warga setempat, keamanan ketat ini memberikan rasa aman dan nyaman. Namun di saat yang sama, pengamanan yang ketat ini juga merupakan perwujudan dari perasaan takut yang mengakar dan trauma kolektif turun temurun dalam masyarakat setempat di dalam pagar. Perasaan curiga dengan mudah muncul dari dua arah: mereka yang di dalam pagar terhadap pihak luar, dan mereka yang berada di luar pagar terhadap aktivitas yang tidak bisa mereka lihat di dalam pagar.

Pengamanan ekstra tersebut tidak muncul begitu saja. Segera setelah kerusuhan Mei 1998, warga di berbagai area perumahan mulai membangun pagar-pagar tinggi di sekitar rumah dan jalan masuk dengan sistem pengamanan ekstra. Ketakutan yang dijaga dan dijadikan alat mempertahankan kekuasaan bagi Orde Baru berkembang menjadi lahan bisnis baru bagi para pengembang. Semakin tinggi harga yang siap dibayarkan, semakin tinggi keamanan bagi mereka dengan trauma komunitas yang diturunkan.

Apabila ditelusuri akar ingatannya, trauma yang mendarah daging ini bukan tanpa alasan. Kebencian rasialis terhadap kelompok minoritas merupakan salah satu aksi politik pecah belah identitas yang dilakukan tidak hanya oleh Soeharto namun juga oleh Belanda ratusan tahun yang lalu. Konstruksi sosial yang menjadikan kelompok minoritas sasaran kebencian masyarakat membuat berbagai pihak mudah dibenturkan. Segregasi lah yang menjadi pemantik prasangka. Dalam kerusuhan Mei 1998, lingkungan yang multikultural justru menjadi struktur pengaman yang bisa diandalkan. Kisah-kisah pun beredar tentang tetangga, tukang ojek langganan di perempatan, ibu warung depan kompleks, dan bapak ketua RT yang bahu membahu saling mengamankan. Istilah ‘warga setempat’ kemudian berubah menjadi sebuah sistem kekerabatan yang utuh dan menyatu.

Namun bagaimanapun juga, memori adalah kontestasi. Memori kolektif akan terus berganti setiap kekuasaan berganti. 21 tahun berselang, pagar-pagar tinggi di jalan masuk dan sekeliling kompleks warga tetap ada sebagai monumen ketakutan yang nyaris kehilangan akar ingatannya. Ruang memori ini pun lama-kelamaan membentuk bahasa visual sebuah tempat dan menjadikannya sekedar pemandangan sehari-hari saja.

Dalam pameran tunggalnya, Edita Atmaja mencoba menggali kembali ingatan atas trauma kolektif di lingkungan sekitarnya dan membuka bisnis baru: studio tato tolak bala. Tamu yang memerlukan perlindungan ekstra akan dipersilakan masuk ke dalam sebuah ruang aman untuk mendapatkan tatonya dengan kebebasan memilih desain sesuai kebutuhan sebagai bentuk pengamanan paling personal. Dalam studio tato ini tersedia beberapa jenis tato perlindungan; mulai dari perlindungan terhadap tempat usaha, rumah tinggal, keamanan saat bepergian, keamanan bagi keluarga yang berada di rumah saat ditinggal bepergian, dan lain-lain. Pengamanan ekstra yang dijamin ampuh bagi warga setempat!

(*) Curated by LIR adalah seri pameran yang dikurasi oleh LIR (Mira Asriningtyas & Dito Yuwono). Dalam seri pameran tunggal LIR x KKF kali ini, kami mengundang tiga seniman muda untuk menyajikan respon mereka atas teror dan trauma kolektif saat Orde Baru. Narasi seri ini berjalan mundur dan menyajikan ketakutan dalam tiga variasi pameran tunggal: Edita Atmaja yang membicarakan tentang bisnis ketakutan paska 1998; Arief Budiman yang membicarakan tentang adegan yang hilang dari tahun 1982 – 1985; dan Adi Sundoro tentang ketakutan makan ikan sekitar tahun 1965.

Tentang Edita Atmaja

Edita Atmaja, atau akrab dipanggil Edita, adalah seorang seniman yang saat ini tinggal dan bekerja di Jakarta. Edita lulus dari jurusan desain grafis Auckland University of Technology (AUT) di Selandia Baru. Edita sempat bekerja sebagai desainer grafis di beberapa perusahaan media di Jakarta. Praktek seni Edita pada awalnya fokus pada gambar tangan dan pencetakan manual sebagai medianya, tetapi di sepanjang jalan dia mulai membuat instalasi dan menggunakan pendekatan partisipatif pada karyanya. Minat utama Edita selalu tentang hubungan antara manusia dan alam, interaksi mereka, ikatan, dan sejarah di tempat-tempat tertentu. Edita berpartisipasi dalam pameran kolektif, beberapa di antaranya adalah Exi(s)t #3: “Here, Together” (Jakarta, 2014); On the Table Exhibition Series: “(not a) Book (but a) Show” (Yogyakarta, 2016); Dia.Lo.Gue Exi(s)t 2017: “Tomorrow as We Know It” (Jakarta, 2017). Beberapa pameran tunggalnya antara lain “Toko Bunga Anggrek” (Jakarta, 2015); “Botanica 1.1: Vanda Tricolor and Other Findings” (Yogyakarta, 2015); “Botanica 1.2: Good Wishes, Gratitude, and Calotropis Gigantea” (Bangkok, 2017). Lebih lanjut tentang karya-karya Edita bisa ditelusuri di www.editaatmaja.com

Pameran Seni Rupa “Tato Tolak Bala: Perlindungan Ampuh Warga Setempat” oleh Edita Atmaja
Pembukaan: Rabu, 2 Oktober 2019, jam 19:00 WIB
di Ruang Pamer KKF

Pameran berlangsung s.d 21 Oktober 2019

Terbuka untuk umum dan GRATIS
Setiap hari jam 11:00 WIB – 21:00 WIB
(KKF tutup setiap hari Selasa)

Desain poster oleh Fitro Dizianto

About Author