Kedai Kebun

Arts – Plants – Kitchen

Pameran Seni Media “Adegan yang Hilang: 1982-1985” oleh Arief Budiman, Kurator LIR

“Adegan yang Hilang: 1982 – 1985”

Pameran Tunggal – Arief Budiman

Curated by LIR*

Pengantar

Ini merupakan satu lagi kisah tentang ketakutan. Bagaimanapun juga, 32 tahun kejayaan Orde Baru adalah cerita panjang tentang ketakutan yang berulang—sebuah metode yang terbukti efektif untuk melanggengkan kekuasaan tersebut. Permainan politik ketakutan mempengaruhi masyarakat melalui dorongan purba mekanisme pertahanan hidup. Masyarakat yang selalu berada dalam kondisi ketakutan mudah dikendalikan, gesekan sosial mudah dipicu, dan kebencian komunal mudah diarahkan oleh negara untuk merespon sasaran dengan identitas tertentu.

Salah satu kisah ini terjadi pada tahun 1982-1985 ketika mayat-mayat dengan tangan terikat bermunculan di sudut pasar, gang-gang sempit area pemukiman warga, di dalam karung samping tempat sampah, di pinggir jalan raya, dan di dalam got-got berbau busuk. Kehadiran kelompok-kelompok yang disebut dengan gabungan anak liar alias ‘gali’ ini sebenarnya tak bisa dilepaskan dari relasi mereka terhadap pemerintah (yang saat itu didominasi oleh militer). Hubungan harmonis kerap terlihat diantara keduanya sebagai hubungan untung sama untung. Pembagian keuntungan ekonomi, perpanjangan tangan dalam menjaga keamanan dan ketertiban, hingga alat untuk mengorganisir warga demi meraup suara dalam pemilu adalah beberapa bentuk relasi saling menguntungkan diantara mereka sekaligus sebagai kontrol pemerintah dan militer diantara warga. Beberapa kelompok ‘binaan’ bahkan mendapatkan restu khusus dari para elit pemegang kekuasaan.

Ketika politik berbalik arah, mereka yang pernah turut berperan melanggengkan kekuasaan kemudian dilihat sebagai ancaman. Bagaimanapun juga, operasi ini dimulai tak lama setelah kerusuhan Lapangan Banteng tahun 1982. Kelompok yang dijadikan alat oleh pemerintah untuk melakukan kampanye hitam terhadap oposan mereka ini lah salah satu target yang perlahan-lahan dihabisi dengan dalih melakukan penertiban, menekan angka kriminalitas, dan mengurangi keresahan warga. Untuk menghadirkan bentuk nyata dari keamanan dan ketertiban ini, tak jarang pemerintah akan terlebih dahulu mempertontonkan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya.

Saat itu, tanpa malu-malu, ruang publik digunakan untuk memajang monumen keberhasilan pemerintah dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Bahkan peletakan mayat di area yang mudah disaksikan banyak orang ini merupakan strategi penting dalam usaha melakukan shock therapy. Dengan sadar mereka menaruh mayat-mayat para oposan dengan luka tembakan di jalanan untuk membuat jera sekaligus memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan mereka atas warga secara umum serta ruang hidupnya.

Terkait dengan peristiwa yang kemudian dikenal sebagai PETRUS atau ‘penembakan misterius’ ini, posisi kelompok-kelompok gali ini pun menjadi pihak yang disudutkan oleh pemerintah dengan embel-embel pengacau keamanan dan ketertiban. Angka 2.000 hingga 10.000 yang merupakan jumlah korban hasil temuan KOMNAS HAM selama 1983 – 1985 melalui  hasil pengaduan  yang diterima langsung oleh KOMNAS HAM maupun dari hasil penelitian David Bourchier yang berjudul “Crime, Law, and State Authority in Indonesia” pada tahun 1990. Angka tersebut dianggap tidak bermakna oleh pemerintah dan berujung pada buntunya jalan penyelesaian kasus tersebut sebagaimana nasib pelanggaran HAM lain di Indonesia.

Dalam pameran tunggalnya, Arief Budiman mencoba menyatukan kepingan sejarah kekerasan yang berlangsung pada kisaran tahun 1982-1985 tersebut. Kepingan-kepingan ini mencoba memperlihatkan absennya beberapa cerita yang cenderung tidak dibicarakan terkait peristiwa penembakan misterius. Ketika bahasa-bahasa yang umum dan kaku terbilang kurang berhasil mendekatkan sejarah kelam bangsa yang sudah berjarak kurang lebih 35 tahun ini kepada generasi saat ini, bahasa-bahasa rekam gambar yang dipilih oleh Arif untuk mendekatkan pada konteks budaya visual keseharian masa kini tanpa mengurangi konteks sejarah dan politik dari peristiwa tersebut.

(*) Curated by LIR adalah seri pameran yang dikurasi oleh LIR (Mira Asriningtyas & Dito Yuwono). Dalam seri pameran tunggal LIR x KKF kali ini, LIR mengundang tiga seniman muda untuk menyajikan respon mereka atas teror dan trauma kolektif saat Orde Baru. Narasi seri ini berjalan mundur dan menyajikan ketakutan dalam tiga variasi pameran tunggal: Edita Atmaja yang membicarakan tentang bisnis ketakutan paska 1998; Arief Budiman yang membicarakan tentang adegan yang hilang dari tahun 1982 – 1985; dan Adi Sundoro tentang ketakutan makan ikan sekitar tahun 1965.

Tentang Arief Budiman

Arief Budiman menggunakan gambar bergerak sebagai medium kekaryaannya. Selain mengeksplorasi berbagai bentuk secara spontan dan intuitif, ia juga tertarik pada persimpangan gaya hidup, tren sosial, kekuatan Internet, serta pengaruh politik di masyarakat. Pameran tunggalnya antara lain ‘Don’t Be Afraid with the Dark’ berkolaborasi dengan PAPERJAM di Lir Space, Yogyakarta (2015); ‘On Moving Text’ di Lir Space, Yogyakarta (2018) dan ‘Spectacle Project’ berkolaborasi dengan Piring Tirbing, Yogyakarta (2019). Beberapa pameran grup yang diikutinya antara lain: ‘900mdpl’ di Kaliurang (2019); ‘Wish You Weren’t Here’ di Raksasa Print, Malaysia (2016); ‘Screening – Screen Ink’ berkolaborasi dengan Grafis Huru Hara di Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta (2016); ‘Video Battle Screening’ di Deck Gallery, Singapore (2017); ‘All the World’s Display’ di Vieniti4/Siete Galeria, Costa Rica (2017); ‘Quiet Odd #16_Video Battle (I)’ di National Rumania Literature Museum (2018); ‘Scope: Indonesia’ di 98B COLLABoratory, Philippines (2018); ‘Either Together Whatever’ di Ruang Mes 56 (2019) dan lain-lain.

Pameran Seni Rupa “Adegan yang Hilang: 1982-1985” oleh Arief Budiman
Pembukaan: Jumat, 1 November 2019, jam 19:00 WIB
di Ruang Pamer KKF

Pameran berlangsung s.d 11 November 2019

Terbuka untuk umum dan GRATIS
Setiap hari jam 11:00 WIB – 21:00 WIB
(KKF tutup setiap hari Selasa)

Desain poster oleh Fitro Dizianto

About Author