Kedai Kebun

Arts – Plants – Kitchen

Pameran Retrospektif Sanggar Seni Kinanti Sekar

Pameran RETROSPEKTIF

Pameran ini diselenggarakan dalam rangka memperingati 4 tahun Sanggar Seni Kinanti Sekar.

Didukung oleh Kedai Kebun Forum dan Java Videotron

Pengantar

Jalan Sunyi Sekar

Penulis : Agung Kurniawan, Direktur Artistik Kedai Kebun Forum

Sebagai kota yang hiruk pikuk dengan peristiwa kesenian, Yogyakarta sesungguhnya juga punya ruang-ruang yang menyangga aktivitas itu. Ruang-ruang itu berupa gilda atau workshop yang menyediakan keahlian-keahlian khusus; las, keramik, seni cetak, musik dan lain lain. Ruang-ruang senyap, kalau boleh disebut begitu, jauh dari hingar bingar publikasi namun mempunyai peran vital dalam produksi kesenian.

Gilda itu adalah dapur di mana karya seni itu sebelum tampil di panggung digodog dan direkayasa. Dapur dalam ideologi hunian Jawa selalu terletak di belakang, disembunyikan jauh dari pandangan para tetamu. Begitulah juga gilda, penting tapi sekaligus dilewatkan dari pandangan. Salah satu wujud dari gilda, selain bengkel produksi, adalah kelas non formal. Kelas non formal ini mengisi celah yang tak dapat diambil oleh sekolah seni formal. Sekolah non formal yang biasanya juga disebut dengan nama sanggar, telah lama ada. Jejaknya mungkin bisa dirunut hingga ratusan tahun lalu. Sanggar selalu bersifat patron klien. Seorang seniman senior menjadi patron sementara para cantrik atau murid mengikuti arahan estetik dari sang guru. Dulu, guru juga sekaligus kepala atau bapak dari para cantrik yang hidup di dalamnya. Tak ada transaksi ekonomi langsung, yang dibutuhkan adalah kepatuhan dan kemauan untuk mengikuti arahan dari bapak atau ibu sanggar.

Sistem ini mirip dengan konsep ngindung yang mengikuti pola sama; patron klien. Biasanya para pe-ngindung yang datang dari desa merantau, tinggal dan menggantungkan hidupnya pada sanak famili yang hidup di kota. Sanak famili yang tinggal di kota berkewajiban menerima kerabatnya sebagai bagian dari tanggung jawab sosial. Cara ngindung ini banyak diterapkan dulu ketika stratifikasi sosial masih ketat dan mobilitas sosial masih sulit terjadi. Sehingga “menempel” pada kerabat yang telah menjadi “orang” menjadi cara yang paling masuk akal untuk menembus lapisan sosial di atasnya.

Sanggar seni bekerja dengan gaya yang kurang lebih sama. Para seniman udik haus akan ilmu merantau yang hidup di dekat kekuasaan (biasanya di kota besar) dan mengabdikan diri. Patuh dan berserah diri sampai akhirnya oleh sang patron dinyatakan layak untuk mandiri menjadi seniman. Cara ini berlangsung bertahun-tahun sampai terputus sementara waktu karena kehadiran sekolah seni pasca kemerdekaan. Akan tetapi jeda pengaruh itu berlangsung pendek. Oleh karena sifatnya yang cair dan informal, cara belajar sanggar tetap mendapat tempat. Bahkan dalam beberapa disiplin kesenian metode sanggar hasil kerjanya dianggap punya nilai lebih dibandingkan sekolah seni formal itu sendiri.

Sanggar tari yang didirikan oleh Kinanti Sekar bekerja dengan pola yang lebih kurang sama. Sebagai patron, Sekar menyebarkan ilmu kepada para kliennya. Sifatnya cair, egaliter dan informal. Hierarki yang awalnya sangat kuat di sanggar gaya lama, tidaklah ditemui pada sanggar tari gaya baru seperti yang dikelola Sekar. Sadar bahwa hierarki seperti diterapkan para empu tidak mungkin diterapkan hari ini, sanggar gaya baru menerapkan gaya kasual. Murid-murid bisa datang dan pergi tapi ikatan kekeluargaan yang diciptakan karena informalitas itu membuat para murid tetap kembali. Sanggar milik Sekar seolah menjadi perpanjangan keluarga inti.

Sanggar tari hari ini, tidaklah begitu peduli apakah akan menghasilkan seniman tari atau tidak. Bagi mereka, tari dan kegiatan seni lain adalah sebuah bentuk media komunikasi, sebagai alat untuk membantu bertutur. Pada titik inilah sanggar-sanggar seperti ini menjadi sangat penting. Oleh karena komunikasi hari ini didominasi dengan perantara gawai, maka kontak langsung dan sentuhan menjadi sangat berguna. Sanggar tari ternyata menawarkan kesempatan itu. Dan sanggar tari ini pun akan selalu mendapatkan ruang hidupnya.

Dalam pameran foto retrospektif kali ini, Sanggar Seni Kinanti Sekar mencoba menampilkan perjalanan sebuah ruang pertemuan yang diciptakan dengan penuh kesungguhan. Sekar mungkin tidak mempercayai bahwa prosesnya bisa berjalan sejauh ini. Dalam foto yang dipamerkan terlihat bagaimana mimpi mewujud, bagaimana ekosistem tari dan sanggar tari membentuk diri dalam kisaran pengaruh Sekar.

Sekar dengan sanggar tarinya adalah bukti bahwa berkesenian tidaklah melulu tampil di atas panggung, tapi juga kerja berpeluh di baliknya. Sebuah kerja dalam sunyi.

Tentang Sanggar Seni Kinanti Sekar

Sanggar Seni Kinanti Sekar (SSKS) berdiri di Yogyakarta pada tahun 2015, merupakan ruang belajar kesenian yang lahir dari gagasan seniman tari Kinanti Sekar Rahina. Proses belajarnya, SKSS memperhatikan dua nilai: kebebasan ekspresi dan bersahabat dengan alam. Metode yang digunakan adalah inkuiri dan kontekstual, dimana siswa bisa berpartisipasi dalam proses belajar dan dekat dengan lingkungan sekitar. Pengelola SSKS adalah orang-orang yang berpengalaman di bidangnya. Penanggung jawab dan fasilitator kelas berasal dari seniman otodidak yang sudah ber-pengalaman dan seniman akademisi kampus seni. Adapun siswa yang tergabung di dalamnya adalah siapapun yang mempunyai tekat kuat untuk belajar kesenian tari, tembang dan baca tulis Aksara Jawa. Macam kelas yang terdapat di SSKS antara lain Kelas Tari Klasik, Kelas Tari Kreasi, Kelas Tari Anak-Anak Kelas Tetembangan, dan Kelas Baca Tulis Aksara Jawa.

Pameran Retrospektif Sanggar Seni Kinanti Sekar

Pembukaan: Rabu, 18 September 2019, jam 19:30 WIB
di Galeri KKF

Dibuka oleh Rm. Sindhunata SJ

Pameran berlangsung s.d 23 September 2019

Terbuka untuk umum dan GRATIS
Setiap hari jam 11:00 WIB – 21:00 WIB
(KKF tutup setiap hari Selasa)

About Author