Pameran Grafis – RAWALELATU – Maryanto
Maryanto, asal Jakarta yang kini tinggal di Yogyakarta, termasuk salah satu dari sedikit seniman yang setia menekuni media grafis sebagai alat mengomunikasikan pikirannya kepada public. Ia menekuni semua teknik grafis baik cetak dalam, cetak datar, maupun cetak tinggi. Setahun terakhir Maryanto tertarik dengan tema yang berhubungan dengan sejarah.
RAWALELATU, adalah sebuah fiksi karangan Maryanto yang mengingatkan pada masa kecilnya ketika tinggal di pinggiran kota Jakarta. Jakarta memang memiliki banyak daerah yang namanya diawali dengan kata /rawa/. Pameran Maryanto kemudian adalah novel gambar tentang terror dan ironi daerah pinggiran yang menghantui, ditolak, selalu disangkal tetapi tetap hidup.
“Selamat datang di Rawa Lelatu. 2 jam perjalanan dari ibukota. Ketika Anda sudah memasuki jalan berbatu, awasilah sekitar, angkutan umum, sepeda motor, truk pengangkut kayu hilir mudik. Di kejauhan, asap mengepul dari corong-corong yang menghadap langit. Pagi itu, para buruh bergegas menyahuti suara sirene, tanda waktu bekerja dimulai, disusul suara bising dari mesin-mesin. Sepeda-sepeda motor dikebut pengendaranya, si berang-berang, memboncengkan gadis manis berseragam biru muda, si kelinci. Barisan motor berhenti di depan bangunan tinggi beratap seng dengan blower alumunium, bertembok batako dan kawat. Para kelinci buru-buru turun dari motor, berbaris menuju gerbang yang dijaga anjing.”
Pameran grafis Maryanto ini akan berlangsung dari tanggal 16 s.d 30 Oktober 2008.
Sebuah Pengantar …
Tentang si Kelinci Buruh yang Bersahabat dengan Kucing
Oleh: Grace Samboh
Sudah sejak lama, kelinci merupakan simbol makhluk tak bersalah yang juga nyaris tak berdaya. Saya hampir tak bisa membayangkan ada orang yang membenci kelinci. Apalagi, kelinci juga terkenal sebagai binatang yang paling mudah beradaptasi dengan segala hal. Kelilnci merupakan salah satu binatang yang dikategorikan, oleh Wikipedia, paling sosial. Bahkan, semenjak 1970-an kelinci, sebagai binatang peliharaan, juga digunakan untuk terapi psikologis bagi orang dewasa dan anak-anak – kini dikembangkan Delta Society. Maryanto menggambarkan para kelinci di Rawalelatu dengan karakter yang menarik; terutama, Amanda. Kisah perjuangan Amanda membangun aliansi demi kesejahteraan sesama buruh ini mengharukan sekaligus menegangkan.
Amanda boleh saja hanya buruh Rawalelatu Tex, namun jangan pernah meremehkan kecerdasannya. Televisi, seperti pada umumnya rakyat jelata Rawalelatu, memang menjadi salah satu sumber pengetahuan terbesarnya. Ia tak punya pengalaman sekolah seperti sahabat kecilnya, Adjeng. Saya sungguh tak mengenalnya, saya hanya bisa membayangkan bahwa Amanda tidak mengonsumsi sinetron dan sejenisnya. Kalaupun ya, ia berhasil mencerap sisi positifnya – entah bagaimana caranya.
Buruh-buruh pabrik adalah sasaran empuk penindasan para hyena. Entah sistem kuasa macam apa yang sedang dibangun Singodimedjo dengan membiarkan hyena berperilaku bak preman. Bagi para kelinci, keberadaan hyena di mana-mana (yang bisa sewaktu-waktu muncul) bagaikan penjaga penjara Panoptic di mata tahanannya. Padahal, para kelinci sama sekali bukan tahanan. Amanda, si kelinci, jelas tidak seberuntung Hardijati dan teman-teman kucingnya.
Saya rasa, sifat sosial kekelinciannyalah yang membuat Amanda tertarik dengan setumpuk buku dan ilmu yang dibawa (dan dipercaya) Adjeng bagaikan agama. Sementara, si kucing sombong, Adjeng, itu adalah tipikal muda-mudi elitis yang terpengaruh akan muluknya teori-teori sosial. Percaya keadilan sosial, namun pulang dengan mobil mewah dan supir melalui gang-gang kecil. Ada sebuah contoh menarik untuk ini: berkuliah sejauh 700 meter dari rumah, tak membuat seorang teman berjalan kaki ke kampus, ia masih saja, setiap harinya, memarkirkan BMW-nya di muka area parkir kampus yang sempit dan membuat jalanan macet. Teman yang sama ini juga yang mengajak saya berdemonstrasi untuk kenaikan uang lembur bersama para pekerja sebuah department store di kawasan elit Jakarta.
DJ, dan teman-teman kucingnya, bak kaum borjuis pada era Revolusi Perancis. Ya, mereka adalah muda-mudi elitis Kota Satelit dan Rawalelatu. Mereka terpana pada segala teori sosial yang ditelan mentah-mentah di bangku sekolahan. Akibatnya, mereka memuja ‘keadilan sosial’ dan merasa mampu melakukan perubahan. Lama-kelamaan, buat saya, mereka seakan mengagumi kemiskinan.
Adjeng senang bukan kepalang bertemu Amanda. Walau tak memanggilnya DJ, lewat Amandalah Adjeng bisa (merasa) melakukan sesuatu. Tanpa kemiskinan, semua teori itu tak berguna bagi Adjeng, toh? Jangan bingung, nama kecil Hardijati memang Adjeng – dan teman-teman elitnya memanggilnya DJ. Ah, apa yang terjadi antara Amanda dan Adjeng, kucing nomor satu di Rawalelatu ini?
Yah, tidak boleh dilupakan bahwa Hardijati adalah seekor kucing. Walaupun kucing termasuk binatang yang paling banyak dipelihara di seluruh dunia, ia punya citra tak setia. Dalam salah satu folklor di Inggris pada 1600-an, kucing sudah diceritakan sebagai hewan pencemburu yang menghisap semua nafas anak pemeliharanya yang baru lahir. Kecemburuan kucing kesayangan si pemelihara akhirnya membunuh bayinya.
Wah, bagaimana dengan Adjeng? Sampai kapan ia akan terus ‘menyertai’ perjuangan Amanda? Bagaimana, kemudian, nasib seluruh penjuru Rawalelatu?
Kali ini saya harus penasaran; begitu juga Anda, karena kisah tentang Rawalelatu tak selesai di sini. Rawalelatu di Kedai Kebun Forum ini memamerkan karya-karya etsa Maryanto yang membentuk sebuah novel grafis. Saya bahkan lebih suka menyebutnya fabel grafis. Sementara kisah yang diangkat dalam pemunculan perdana Rawalelatu adalah perjuangan si kelinci, Amanda, yang ‘didukung’ oleh Adjeng.
Karya-karya grafis Maryanto dalam pameran tunggalnya ini tidak berdiri sendiri. Satu sama lainnya saling berhubungan. Maryanto memang memamerkan sebuah kisah. Sebuah kisah tentang Rawalelatu. Sebuah daerah dimana berbagai jenis binatang hidup bersama. Bersama, bukan bersatu. Atau, tepatnya, bersama, belum tentu bersatu.
Nantikan kelanjutan kisah Rawalelatu pada karya-karya Maryanto selanjutnya!