Suryawirawan si ahli gambar: yang langka di pasar yang tak butuh ahli
Ditengah hingar bingar pasar seni rupa Indonesia yang disesaki dengan karya-karya kelas 2 atau bahkan 3 dan 4, bermedia kanvas dan berukuran besar, Suryawirawan dengan kertasnya yang mungil adalah oase yang menyejukkan. Suryawirawan atau biasa dipanggil teman-temannya ‘komo’ menggambar di atas kertas yang rata-rata luasnya 20 x 30 cm². Komo bekerja sayup-sayup, dengan gaya orang menembang tinimbang orang yang berteriak dengan musik rock. Kali ini ia menggunakan beberapa varian komik, seperti komik larik dan ‘gambar umbul’ dan meminjam tokoh punakawan – Gareng Petruk – sebagai subyek utama rerasannya. Sepintas karya komo seperti komik ‘lawasan’ yang digambar ulang atau mengingatkan pada lukisan kaca bikinan Maryono dari Muntilan, Jawa Tengah. Lukisan kaca Muntilan selalu menggambarkan situasi batin perkotaan Jawa tahun 50-60 an. Mobil-mobil kuno, mesjid gaya art nuvo, dan seragam kolonial. Sebuah gambaran romantik orang Jawa tentang kota pada masa itu. Lukisan Kaca Muntilan adalah capture dari kota-kota di Jawa Tengah, sebuah pembekuan dari Jawa yang selalu berubah. Komo dengan spirit yang hampir sama -nostalgic dan romantis- akan tetapi meneruskannya dengan komentar yang kritis. Keisengan Komo kali ini adalah pemberi jiwa kritis pada karya-karya romantik lukisan kaca Muntilan. “Saya sedang rasan-rasan saja, ngrasani bensin mahal, polisi tukang tilang, orang miskin pemimpi, antri beras dan minyak tanah dll.”
Kecuali lewat komik-komik ‘jadul’ yang memperlihatkan ketrampilan menggambar, Komo juga memamerkan karya dengan media grafis yang sama-sama menunjukan keunggulan dalam teknik dan detail. “Mencoba teknik merupakan hal yang seru untuk tetap dikerjakan” katanya.
Membicarakan pamerannya di KKF pada tahun 2008 ini, seperti déjà vu. Pertama, obrolan tentang teknik. Jelas. Ini mengingatkan jaman pacaran saya dengan Agung Kurniawan, sekitar tahun 1992-93 an. Kebanyakan ketika menonton pameran siapapun, karya-karya didekati dan dipelototi dari jarak sangat dekat, diinceng dari kiri dan kanan. Komo adalah teknikwan yang kami kagumi dan kemudian kami ajak pameran di Kedai Kebun pada tahun 1997. Namun saya rasa, teknik sama sekali bukan semata-mata obsesinya. Yang saya kagumi adalah kecermatan dia memilih kapan saatnya menggunakan cat air, kapan menggunakan pinsil atau bolpoin, atau saatnya memilih sablon atau etsa, semuanya di atas kertas yang mungil, di situ kita bisa menemukan detail, arsiran garis halus, dan gradasi warna yang lembut.
Waktu itu, tahun 1997, ia pameran berdua dengan Ugo Untoro, teknikwan pada ujud yang berbeda.
Déjà vu kedua, Semsar Siahaan. “Aku pernah mengaguminya, tapi dia sudah mati” kata Komo. Sebagai seniman ternama tahun 80’an, nama Semsar nyaris tidak terdengar dewasa ini, ia mati di Bali karena strok. Kurang detil pertanyaan saya, apanya yang Komo kagumi pada diri Semsar. Semsar Siahaan selalu melukis dengan kanvas yang gigantik. Karya Semsar penuh dengan bentuk orang dengan tangan mengepal dan muka mengkerut marah. Sedangkan Komo, kertas-kertas mungilnya dipenuhi dengan muka lugu penuh coreng-moreng yang dibuat untuk menutup perasaan mereka sebenarnya. Semsar bekerja dengan isu besar; kerusakan lingkungan, pembantaian masal dan lain sebagainya. Sedang Komo bekerja sebaliknya; urusan sehari-hari, tilang motor, antri beras dan minyak tanah. Universe dari ke dua seniman itu sejatinya sama; tema sosial – yang membedakan hanyalah cara pandang atas persoalan. Semsar Marah, Komo mengerutu dan terus melanjutkan hidup yang (selalu) sengsara. (Yustina W. Neni)