Kedai Kebun

Arts – Plants – Kitchen

Proyek Neo Indies, KKF, September – Oktober 2004

Membongkar Koper Budaya Indis
‘DARI ANYER SAMPAI PANARUKAN KE SABANG SAMPAI MERAUKE’
Berkaca lewat produk kebudayaan: seni rupa, cerpen, dan film

Pameran Seni Rupa: “Apa Kabar Meneer?”

23 September 2004 – 18 Oktober 2004

Pemutaran Film: De Stille Kracht

6 – 9 Oktober 2004

Pertunjukan : Chalie Anak Betawi

27 September 2004

Seminar “Opening Up the Indis Culture Suitcase: From Anyer to Panarukan to Sabang to Merauke”

10 Oktober 2004

Indis-kah kita?
Indis adalah kebudayaan campuran yang merupakan “anak haram” dari pertemuan dua arus kebudayaan besar: “pihak luar” dan “pihak dalam”, barat dan timur. Percampuran ini tentu saja akan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi di berbagai hal. Konsekuensi pertama, misalnya, adalah munculnya identitas mengambang. Pertemuan dua jenis kebudayaan –yang satu superior karena memiliki perangkat administrasi modern, teknologi maju, tetapi juga sekaligus inferior karena “bukan siapa-siapa” di kalangan negara-negara Eropa, sedang satunya lagi inferior karena tidak mempunyai perangkat teknologi modern dan sistem administrasi yang kadaluwarsa, akan tetapi tetap merasa superior karena latar belakang sejarah dan peradabannya yang luar biasa– inilah yang membuahi pertumbuhan kebudayaan Indis. Sebuah “masyarakat baru” yang tidak Belanda dan tidak Jawa, tidak Belanda dan tidak juga Padang: sebuah masyarakat kreol. Pun ketika ikatan dengan kolonialisme gaya lama itu putus, para “sinyo” itu kembali ke “negerinya” dengan membawa kebudayaan dalam koper kecilnya dan sekali dalam setahun mereka tetap saja mengenang sekaligus mendendam negeri elok yang dicintai tetapi yang telah memaksa mereka “pergi” dalam dan dengan Pasar Malam Tong-Tong.

Melalui kehidupan sehari-hari dan tegur sapanya, tak bisa dihindari Indis menciptakan ‘bianglala’-nya: semacam pelangi yang tak lagi bisa diurai menjadi bagian-bagian yang otentik, utuh, tersendiri dalam warna-warnanya. Indis menjadi gaya hidup melalui benda-benda hasil perilaku kehidupannya, melalui konsep-konsep kehidupannya yang tak jarang tetap bersifat abstrak karena itu selain bentuk rumah, cara berpakaian, ragam makanan, konsep tentang keadilan yang mewujud dalam sistem hukum, Indis juga membekaskan konsep belajar atau pendidikan yang bernama sekolah dan korupsi yang masih terus berkecamuk dan diberlangsungkan oleh Indonesia pada hari-hari ini.

Kebudayaan campur yang telah disebut di atas tidak tercipta dengan mudah, tetapi lebih ditengarai sebagai percampuran yang disertai dengan ketegangan-ketegangan: Bumi Putera dengan inlander, Islam dengan sekularisme, dll. Akan tetapi ketegangan itu toh tetap saja menghasilkan sebuah kebudayan “para sinyo” –orang-orang pertama dengan identitas terbelah– dan sekali lagi, seperti disebut di atas mereka adalah salah satu keping mosaik pembentuk kebudayaan kotemporer Indonesia bersamaan dengan unsur asing lainnya: peranakan Cina, India, dan Arab tetapi karena alasan-alasan politik kenyataan itu diingkari. Oleh karena percampuran itulah hampir tidak mungkin kita menemukan sebuah bentuk kebudayaan Indonesia asli sehingga –mau tidak mau– ketika sekarang menyebut  Indonesia ingatan tentang Belanda dan Indo  muncul. Bukankah ketika Soekarno mencetuskan Indonesia, nama itu, dan juga wilayahnya menegaskan diri akan adanya unsur ke-Belanda-an? Nama yang merupakan metamorfosis dari penyebutan Indische dan wilayah yang mengacu pada teritorial bekas jajahan Belanda? Bukankah Tjoet Nya’ Dien muncul secara menggetarkan sebagai pahlawan wanita Aceh justru ditulis oleh Szekely Lulofs sebagai karya sastra? Dan ketika di bulan Mei tahun 1998, Indonesia rame-rame meminta dihapuskannya kolusi, korupsi, dan nepotisme, lebih seabad sebelum itu di Soerabaia Courant edisi 23 Mei 1868 no. 119 telah dilansir berita tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme Bupati Blitar Raden Adipati Ario Adi Negoro yang dilindungi kumpeni dan ditulis oleh wartawan Belanda?

Penggalian Ingatan
Proyek ini pada dasarnya ingin menggali ingatan –melalui produk kebudayaan khususnya seni rupa, cerita pendek, dan film– bahwa Indonesia adalah mosaik yang terdiri dari berbagai keping pembentuk yang satu sama lain berbeda. Oleh karena berbeda itulah tercipta bentuk yang kemudian dengan pongah disebut Indonesia. Melihat kembali perbedaan-perbedaan itu secara arif sekaligus kritis untuk menandai sebuah upaya kecil perang melawan lupa.

Kalau kita kembali membaca buku sejarah yang diproduksi Orde Baru yang masih kita pakai sampai sekarang maka jejak sejarah orang-orang Indo itu hilang. Seakan-akan sejarah itu hanya dipenuhi dengan orang-orang “pribumi” yang kebetulan bersuku Jawa atau Padang dan sekumpulan tentara bak Superman sedangkan orang-orang Cina Indonesia, orang Indo lenyap tak berbekas. Sementara kita mencampakkan peranan para Indo itu, kita secara tidak sadar hidup di dalam dunia yang mereka telah “bangun”. Pembacaan kembali ini adalah untuk melihat betapa kita cepat sekali lupa pada perkara-perkara penting. Kita selalu terpesona pada hal yang “baru”, dengan tidak sepenuhnya kritis menanyakan apakah “baru” itu? Apakah ia benar-benar baru, dan lain sebagainya? Sekaligus dari premis ini muncul pertanyaan apakah kita ini orang Indonesia “asli”, dan dengan demikian apakah kebudayaan Indonesia itu juga “asli”? Lalu dari mana muncul konsep “puncak-puncak kebudayaan nasional” itu?

Proyek ini, dengan begitu, secara bersamaan melihat masa lalu dengan sekaligus juga melihat sekarang. Ini semakin menguatkan dalil bahwa waktu tidaklah suatu yang bergerak maju semata akan tetapi berputar pada sebuah poros yang menyebabkan sesekali sesuatu yang sama akan terjadi kembali. Seraya menggali ingatan, proyek ini juga akan merumuskan wajah sendiri yang mungkin pongah dan belang-bontheng itu. Risiko apakah yang mungkin ditanggungkan dari gejala identitas kreol, ketika muncul dalam bingkai kesenian? Gagasan-gagasan estetika yang mewujud dalam ideologi low art dan high art, adakah mungkin justru tumbuh dari wilayah pemikiran kolonialisme? Dan pada gilirannya, bagaimanakah kesenian kontemporer membebaskan diri dari tendensi kolonialisme, jika itu dibutuhkan? Tetapi bisakah demokratisasi estetika tak meniadakan estetika itu sendiri?

1.    Pameran Rupa:  Apa Kabar Meneer ?
Pameran ini melibatkan seniman-seniman dari tiga generasi. Generasi tertua berasal dari seniman yang telah mengecap paling tidak beberapa generasi sekaligus; masa revolusi, Orde Lama, Orde Baru, dan sekarang. Kelompok kedua adalah seniman yang dididik dalam era Orde Baru awal sampai akhir, dan yang terakhir adalah kelompok seniman muda yang baru saja lulus atau sedang kuliah. Diskusi yang kemudian akan dimunculkan melalui pameran senirupa untuk menggaris-bawahi soal waktu ini adalah: melalui karya masing-masing seniman akankah tampak interaksi, resepsi, atas pengalaman-pengalaman, dan bagaimana manusia Indonesia menampilkan kembali pengalamannya? Setiap masa memiliki sejarahnya sendiri dan dalam pameran ini karya-karya para seniman dibaca sebagai produk kebudayaan yang terlibat secara melekat dengan sejarah senimannya. Bahan-bahan yang dipilih seniman untuk mewujudkan gagasannya adalah pilihan yang tidak tak terjelaskan. Begitu juga dengan ornament, dimensi visualisasi, dan modus penyampaiannya.

Pameran ini tidak mengunggulkan kualitas penciptaan melainkan sebagai “sample” barang produksi. Bagaimana gagasan pertautan kebudayaan dimungkinan bertemu kembali tanpa disadari dalam bentuk barang-barang produksi yang dikonsumsi oleh manusia sehari-hari?  Penampilan pameran senirupa Apa Kabar, Meneer? ini tidak berbeda dengan pameran-pameran seni rupa lainnya, termasuk adanya upaya penawaran gagasan tematik kepada para seniman. Perbedaannya hanya terletak pada pencantuman waktu lahir para seniman selain data karya, seperti; judul, materi yang digunakan, dan ukuran karya. Pencantuman waktu lahir menunjukkan masa interaksi kebudayaan dan resepsi atas pengalaman-pengalaman. Kemudian adakah tanda-tanda yang menunjukan relasi antara satu produsen dengan produsen yang lain? Adakah saat mereka “bertemu” dan dalam bentuk apa? Sebagai produk kebudayaan yang bersifat material, pembacaan atas produk-produk yang dipamerkan dilihat dari tanda-tanda yang tampak secara fisik, baik itu bahan-bahan pembentuk karya, tulisan-tulisan, atau gambar-gambar.

Seniman tertua adalah Maryono, seorang pelukis kaca, kelahiran 8 Juli 1938. Maryono lahir dan tinggal di Muntilan, 30 km sebelah utara Yogyakarta. Seperti umumnya orang Jawa yang sudah berumur, dia suka wayang. Umumnya tokoh-tokoh dalam lukisannya adalah punokawan –komedian dalam cerita wayang Jawa. Para punokawan itu tidak selalu berpakaian seperti dalam cerita wayang tetapi bisa menjadi siapa saja, misalnya; tentara, polisi, lurah, maling, pemabuk, playboy, orang biasa, atau pejabat tinggi negara. Setting di dalam likisannya juga tidak selalu dalam rupa kerajaan, tetapi bisa di rumah, di depan masjid, di kelurahan, di dalam ruang sidang, di medan pertempuran, dll.

Dikisahkan olehnya –ketika kami mengunjungi rumahnya yang sederhana– bahwa pada pertempuran Class II Maryono sudah berusia 13 tahun. Pertempuran di Muntilan diceritakan sebagai si “cocor merah” (pesawat Mustang) meraung-raung. Selain pertempuran sengit, terjadi juga pemerkosaan. Salah satu akibat perkosaan itu antara lain adalah lahirnya seorang tetangga yang sering dipanggil dengan sebutan sinyo: “londo ning doyan tiwul”, dan sekarang “ndoro sinyo” itu bekerja sebagai buruh linting di pabrik rokok.

Dalam pameran ini Maryono menolak membuat lukisan baru. Dia sedang malas karena sedang menyiapkan perkawinan anaknya. Akhirnya kami memilih 3 lukisan kaca sebagai contoh produk Maryono. Maryono sendiri adalah seorang pelukis kaca yang cukup populer. Sering berpameran di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar. Maryono adalah orang yang telah hidup selama 66 tahun di Indonesia, di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Magelang, Kota Muntilan.

rz-wafatnya-kapten-tack-resize.JPG          rz-glass-painting-8.JPG          rz-glass-painting-7.JPG

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bisakah kita menelusuri keaslian indentitas seorang Maryono melalui barang produksinya? Maryono memang lahir di Muntilan tetapi ketika dia meyakini cerita wayang dan melukisnya kembali, apakah dia sedang melukis budayanya sendiri atau budaya orang lain? Dari manakah cerita wayang berasal? Dari Jawa? Jawa sebelah mana? Adakah cerita wayang asli Muntilan? Jika dia lalu melukis punokawan berpakaian tentara sedang tiarap menembak “si cocor merah” apakah dia telah merusak budaya Jawa?

Dalam lukisan yang berjudul Mumpung, gambar menunjukan sebuah ruang dengan posisi meja melingkar dikelilingi orang-orang perpakaian jas dan berdasi, di tengah lingkaran itu ada Petruk –salah seorang punokawan– sedang beradu tengkar dengan sosok mirip Pinokio. Pertanyaannya, jika lukisan kaca dianggap telah menjadi produk budaya lokal, jika yang digambar Pinokio, apakah lukisan kaca ini tetap termasuk dalam kategori produk budaya lokal? Sehubungan dengan sejarah hidup Maryono dan resepsinya atas pengalaman-pengalaman hidupnya, dari mana dia mengenal Pinokio? Dari TV atau media lainnya? Dari lukisan ini identitas Maryono sebagai orang Jawa yang “asli” dan “murni” juga semakin kacau balau. Dari lukisan ini pula relasi produksi Maryono dengan produksi lain yang tampil di pameran Apa Kabar, Meneer? tampak.

Wimo Ambala Bayang, lahir di Magelang, 14 oktober 1976. Ibunya asal Magelang dan Bapaknya dari Sangir Talaud Sulawesi Utara. Wimo lahir dan besar di Magelang. Di kota Magelang pula Wimo menamatkan SMUnya dan kemudian melanjutkan studinya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta di jurusan Media Rekam.  Wimo membuat karyanya dengan media video dalam format VCD. Isinya kolase dari rekaman tingkah laku teman-temannya yang berbicara bahasa Indonesia campur bahasa Inggris, Jepang, Korea, atau mengumpat dalam bahasa Inggris. Mengatakan cinta dalam bahasa Inggris, wawancara dalam bahasa Inggris, dll. Sebagai sebuah karya rupa, karya Wimo relatif “sederhana”dan kecil. Dalam ukuran karya seni rupa masa kini karya Wimo “mudah” dibawa, “mudah” dikirim, dan “mudah diakses”.  Ketika kita masuk ruang pamer Kedai Kebun Forum, video Wimo akan menyambut kita. Suara-suara dari video itu bersahut-sahutan dan susul menyusul. Laki-laki dan perempuan, remaja dan dewasa dengan fasih melafalkan kalimat-kalimat “asing”. Inilah generasi MTV! Generasi yang dengan fasih menyebut “fuck you” dan assalamulaikum sekaligus. Bagi mereka ada dua buah dunia yang terpisah dan tidak saling terkait satu sama lain, yaitu, dunia luar rumah yang bebas merdeka sehingga bisa ngomong shit dan fuck dengan bebas, dan dunia dalam rumah yang dipenuhi kontrol dan penguasaan. Keluarga adalah bagian dari mikrokosmos negara yang mengontrol seperti halnya ketika mereka masuk ruang kelas, surau, geraja, mall, atau tempat-tempat umum lainnya. Mereka terbiasa melakukan itu, dunia mendua, kreol, dan indis banget! Itu semua adalah cara mereka bertahan hidup, dan Wimo secara tepat mengungkapnya melalui cara mereka berbicara. Tidak seperti yang kita lihat pada lukisan kaca Maryono, Mumpung (2004), yang mengambarkan Pinokio dan Petruk saling berhadap-hadapan –sebuah posisi yang digambarkan sebagai sikap saling menantang atau dua wakil kebudayaan yang saling dihadapkan— gejala itu atau sikap berhadap-hadapan saling menantang tidak ditemui dalam karya Wimo, Wasweswos (Video, 2004). Semua wajah keling dalam karya Wimo mengucapkan bahasa asing dengan cengengesan, tanpa masalah. Tidak perlu njekengkeng.

rz-waswimo-1.JPG rz-waswimo-2.JPG

Seusia dengan Wimo, kami memilih RM Soni Irawan sebagai contoh produsen yang mewakili generasi 2000. Soni Irawan lahir pada tanggal 15 Januari 1975. RM adalah singkatan dari Raden Mas, sebuah penamaan yang lekat sebagai penanda keturunan priyayi Jawa. Jadi Soni Irawan adalah seniman berdarah bangsawan Jawa. Sehari-hari Soni dikenal juga sebagai pemusik dari kelompok Seek Six Sick yang sangat popular di Yogyakarta, dan Project Babi No 9. Seek Six Sick adalah musik beraliran noise rock. Mereka menyebut aliran musik mereka sebagai Asianoiserock. Project Babi no 9 berjenis kurang lebih sama. Dari sini saja identitas Soni Irawan sudah menunjukkan paradoksnya. Karya rupa yang dipamerkannya dalam Apa Kabar, Meneer? juga tidak terlalu jauh dengan hidupnya sehari-sehari sebagai pemusik. Ia membuat  2 karya, berjudul “The Devil’s A go go (Raw Power # 2)”, tersusun dari bahan kanvas, cat akrilik, kolase payet, kain berbulu sintetis, rangkaian tape recorder, kaset, dan potensio, berangka tahun 2004, dan karya berbentuk semacam gitar, berjudul; “My Discomachinegun (Raw Power # 1)”. Karya kedua Soni terangkai atas bahan neck atau stang gitar, kotak radio, dan rangkaian elektronik (sound effect fuzz, overdrive), berangka tahun 2004. “The Devil’s A go go (Raw Power # 2)” bisa mengeluarkan suara musik cadas jika kita memutar knop power, yang terletak diujung kiri bawah. Dalam karya ini dan “My Discomachinegun (Raw Power # 1)” karya-karya ini bisa dimainkan selayaknya kita bermain gitar. Embel-embel “RM” yang sangat Jawa di depan nama Soni sangat tidak mengganggu dia dalam mencari pengalaman. Soni sebagai pribadi tampil sangat “otonom” dia mencari identitasnya sendiri dengan sangat liar meskipun embel-embel RM selalu ada kemanapun dia pergi seperti Lucky Luke dan bayangannya. Identitas kejawaan Soni dengan indentitas barang produksinya juga menimbulkan ketegangan mengingat bunyi-bunyian yang dihasilkan dari karya Soni bukan suara gamelan Jawa. Perbandingan-perbandingan itu mungkin terlalu ekstrim, tetapi rumusan-rumusan yang menghasilkan konsep “puncak-puncak kebudayaan nasional” itu juga diakibatkan oleh usaha mencari identitas murni dengan cara memilah-milah antara yang dianggap indah atau agung, yang dianggap kurang indah atau rendah atau yang dianggap benar dan salah untuk ditonjolkan. Rezim Orde Baru membuat kebijakan tentang “identitas yang salah” itu pada sesorang supaya bisa dikategorikan sebagai orang Indonesia. Salah satunya dengan keharusan menggunakan nama Indonesia untuk orang-orang keturunan Tionghoa, seperti Soedono Salim untuk Liem Soe Liong. Lucunya mengapa Liem Soe Liong memilih nama berbau Jawa, bukan Tagor –nama dari daerah Batak, Sumatera Utara– atau nama khas dari daerah lain yang mengandung bunyi /lim/ atau /su/? Pun juga untuk nama-nama perusahaan atau kawasan hunian, misalnya Merapi View di Yogyakarta yang berubah menjadi Pesona Merapi. Tetapi ketika orang tua Soni memilih  “soni” dibelakang RM (Raden Mas) tidak digugat oleh siapapun. Pertanyaannya Soni itu nama Jawa atau bukan?

Persoalan ini menjadi tidak sederhana ketika pemurnian dilakukan sampai ke persoalan agama dan ras, dan sekarang Indonesia menuai benih yang telah ditanam itu. Identifikasi pribumi pada jaman kolonial dikembang-biakkan lagi pada skala yang lebih luas.

indies-image.jpg

Kerumitan dan usaha membayangkan citra identitas sangat menonjol dalam karya Galam Zulkifli. Galam kelahiran 14 Januari 1971 menampilkan karya yang berjudul Politik Bibir Merah. Ketika Galam menggambar wajah Kartini dalam kanvas ukuran 200 cm x 145 cm, dengan akrilik dan spidol, dia jelas ingin melihat bagaimana Kartini sebagai seorang “pahlawan” perempuan ditempatkan dalam kerangka politik etis (kolonialisme gaya lama) dan Orde Baru (kolonoalisme gaya baru). Kita menjadi teringat ketika Belanda bersedia memberi bea siswa untuk Kartini akan tetapi kemudian menolak ketika Kartini ingin memberikan bea siswa itu kepada Agus Salim. Bukankah dengan cara demikian politik etis telah secara sadar memilih dan menciptakan tokoh-tokoh “pahlawan” yang tak lain dan tak bukan adalah nama lain dari orang taklukkan? Dan yang kemudian menjadikan cerita ini menarik adalah cara yang sama yang kemudian ditiru oleh Orde Baru dengan memberi “bea siswa” kepada para teknokrat dan intelektual Orde Baru supaya mereka menjinak dan sewaktu-waktu dapat digunakan untuk melakukan pembenaran atas politik kotor mereka.

Perupa lain adalah Tita Rubi yang lahir 15 Desember 1968. Tita adalah satu-satunya perempuan dalam pameran ini. Tita memamerkan karya yang berupa rangkaian manik-manik yang mewujud menjadi gaun dengan perbandingan 1:1 dengan ukuran manusia. Yang menarik dari karya Tita adalah keputusannya yang tiba-tiba ketika kami menilai karyanya terlalu “kosong”. Tita kemudian memutuskan memasang produk-produk komersialnya yang telah dikemas dalam plastik berlogo CARKULTERA CRAFT STUDIO –Carkultera adalah nama anak sulungnya. Kalung dari manik-manik tersebut ditempel sedemikian rupa di dinding sehingga bisa terbaca rangkaian huruf yang berbunyi: TITA. Tanpa dia sadari Tita menyetujui penamaan itu sebagai upaya menyebut identitasnya. Identitas Tita menjadi kurang lebih adalah: seorang ibu dari anak yang bernama Carkultera, dan selain sebagai seniman dia mempunyai usaha membuat kalung dari manik-manik.

rz-sementara-imitasi-tita-1.JPG                    rz-tita-1.JPG

Semua karya dalam pameran ini dijual, termasuk karya Tita dan kalung manik-maniknya itu. Sehari dua hari, kata Tita yang terrangkai oleh susun kemasan kalung manik-manik dalam bungkus plastiknya itu masih bisa dibaca. Tetapi menjelang pameran berakhir kata Tita sudah tidak bisa dibaca lagi karena laku terjual. Entah disadari atau tidak –baik oleh Tita sebagai seniman dan kami sebagai kurator– proses pengikisan identitas ini menjadi “cocok” dengan karya Tita yang berjudul Sementara Imitasi.  Kecuali itu, dari yang nampak saja, Tita merumuskan dirinya sebagai tokoh campur aduk: seorang ibu yang bekerja dan berbisnis.

Jika sebelumnya “tradisi” mengatakan bahwa perempuan Jawa tidak perlu sekolah atau bekerja maka sejak kapan tradisi ini terkikis? Apakah sejak Kartini bersekolah? Kemudian bagaimana tradisi perempuan Jawa yang sekarang? Yang disebut sebagai perempuan Jawa atau perempuan Indonesia itu yang seperti apa?

Jumaldi Alfi yang lahir 19 Juli 1973 adalah seorang seniman yang berasal dari Padang. Bersekolah di Yogyakarta dan sekarang telah menjadi “Jadang”, Jawa-Padang. Dia memamerkan tiga buah karya yang salah satunya berupa rangkaian lukisan-lukisan kecil. Ketika pertama kali di tawari untuk terlibat dalam proyek ini dia sempat ragu-ragu. Dia merasa dirinya bukan seorang Indis. Akan tetapi kami melihat ada jejak yang menghubungkan karya-karyanya dan pameran ini.

rz-alfi-3.JPG     rz-alfi-cmyk-1.JPG     rz-alfi-detail9.JPG

Karyanya yang berjudul Meditation (2004) menyiratkan hal itu. Pada lukisan Alfi yang nampak memang selalu tersirat. Penonton dipaksa untuk membongkar lapisan-lapisan metaforik yang njlimet. Akan tetapi sebagai seorang produsen, Alfi yang lahir pada dekade awal 70-an belum menampakkan situasi mendua seperti halnya nampak sangat kuat pada seniman generasi yang lebih muda –Soni dan Wimo. Alfi mencoba untuk analitis atau melihat fenomena dengan cara yang berjarak. Ada semacam perasaan takut dan gamang. Perasaan-perasaan itu yang tak nampak pada karya Soni atau Wimo, misalnya. Alfi mencoba menyingkap ruang-dalam yang sunyi, sehingga, karena itulah tampakan lanskap selalu menjadi bagian yang penting dalam karya-karyanya. Seperti para pelukis surealis yang mencoba mendefinisikan dunia mimpi mereka sebagai lanskap kosong: bukit dan gunug-gunung di kejauhan.Alfi sebagaimana halnya Galam adalah produsen artistik yang fasih, baik fasih secara ketukangan maupun secara kewacanaan.

Sebagai sebuah masyarakat yang gampang lupa dan melupakan, pameran ini jadi agak berarti karena ia menyentuh wilayah tabu yang selalu ada di kepala orang Indonesia atau Jawa tentang keaslian identitas mereka dengan menyebutnya sebagai “pribumi”. Pertanyaan yang tersisa kemudian: bagaimana dengan orang-orang dari Timor Timur, ketika sekarang Timor Timur sudah merdeka? Siapa mereka? Akan kita golongkan mereka sebagai “apa”? Di mana posisi kita –orang Indonesia yang modern dan mengaku diri intelek? Sejak dicanangkan kebijakan otonomi daerah, provinsi di seluruh Indonesia menjadi (sementara) 32 provinsi, apakah “puncak-puncak kebudayaan nasional” tidak lagi menjadi (hanya) 27 buah? Apakah akan ada proyek  merombak Taman Mini Indonesia Indah?

2. Pemutaran Film: De Stille Kracht
(Memandang, merekam, membingkai Indies)

Enam film yang diputar dalam kesempatan ini adalah salah satu upaya memandang, merekam dan membingkai Indies. Indies yang pada mulanya adalah soal ras itu, pada akhirnya tokh juga dipahami sebagai sebuah gaya hidup dan pada gilirannya sebuah percampuran budaya. Kalau –dalam hal ini– Indies lebih diartikan sebagai yang bermukim di Indonesia, ini lebih hanya soal kepentingan atas kasus: karena kita atau kami hidup dan berada di Indonesia.

Lalu siapakah Indies?

Dari segi tematik dipilih film-film dari sineas Belanda yang menampilkan romantisme masyarakat Belanda atas Indonesia baik di masa kolonial atau pun sesudahnya. Sedangkan film-film dari sineas Indonesia dipilih film-film di masa sekarang yang merupakan cermin cara pandang ideologis sutradara film Indonesia –yang sebagian besar dari Jawa– terhadap realitas kehidupan masyarakat Indonesia lainnya atau sebutlah luar Jawa. Adakah perbedaan –ataupun kesamaan– cara pandang di antara keduanya terhadap obyek dan gejala atau masyarakat yang direkam dalam film-film ini?

SINOPSIS

dsk-2.jpg     rz-dsk-2-1jpg.JPG
De Stille Kracht
Sutradara               : Walter Van der Kamp
Writing credits   : Louis Coperus
Produser                 : Hugo Heinen, Walter van der Kamp, René Solleveld
Produksi                 : AVRO Broadcasting Association Netherlanmds, 1974
Durasi                       : 231 menit (dibagi dalam 3 kali pemutaran)

Cerita roman ini mengambil setting jaman Indies sebelum perang revolusi antara Indonesia – Belanda. Daya tarik alam tropis yang imposan bersama dengan hubungan-hubungan kolonial menciptakan lingkungan penuh ketakutan: ilmu hitam dan bahaya tersembunyi. Cerita ini menggambarkan pola berpikir orang Belanda dan orang Indo yang bercampur dengan perasaan kebencian dan keakraban terhadap bangsa pribumi, priyayi Jawa dan bangsa Indies: Cina, Arab, orang campuran, dll.

Residen Van Oudijck, seorang totok Belanda, bertugas sebagai residen di Laboewangi, Jawa Timur. Ia bekerja keras untuk istrinya dengan mengelola kebun–kebun kopi, pabrik-pabrik gula dan ia juga bertanggung jawab atas irigasi sawah-sawah. Ia hidup di Laboewangi dengan istrinya yang kedua, seorang indo, dan dengan dua anaknya; yang satu laki-laki yang lain perempuan –tunas-tunas dari perkawinannya yang pertama yang juga dengan seorang indo.

Saat itu, Nyonya Besar Leonie Van Oudijk baru saja pulang dari Batavia. Setiap tahun, ia pergi ke Batavia selama dua bulan untuk melarikan diri dari kebosanan di Laboewangi di mana dia merasa kurang bisa bebas ‘bergerak’. Diam-diam nyonya Van Oudijck berpacaran dengan anak tirinya sendiri, Theo, dan juga dangan Addy De Luce, anak usahawan pabrik gula yang kaya sekaligus juga pacar anaknya yang kedua.

Tuan Van Oudijck tidak maklum dengan perilaku istrinya dan juga tidak percaya akan surat-surat kaleng yang diterimanya. Yang menjadi buah pikirannya adalah Bupati Ngajiwa, adik Adipati Laboewangi yang bernama raden Adipati Suryo Sunario. Ayah para bupati itu adalah Raden Adiningrat, aristokrat Jawa, keturunan Sultan Madura yang oleh Gubernemen diberi gelar “Pangeran”. Berbeda dengan ayahnya, kedua putra pribumi itu tidak mempunyai bakat sebagai pejabat pemerintah. Yang pertama, Adipati Sunario, Bupati Laboewangi, rupanya hidup di suatu dunia lain –dunia gaib—dan konon kabarnya mempunyai kesaktian yang luar biasa. Adiknya, Bupati Ngajiwa, punya kebiasaan jelek, suka minum dan main.

Pada suatu kali Bupati Ngajiwa ditemukan dalam keadaan mabuk. Residen Van Oudijk dengan cara Belanda yang penuh prinsip dan disiplin, terpaksa turun tangan dan mengusulkan kepada pemerintah di Betawi agar bupati itu dipecat. Ibunda kedua Adipati tersebut, Raden Ayu Pangeran, tidak bisa menerima skandal yang menghilangkan muka status mereka. Maka, menghadaplah ibunda bupati, pada Residen. Wanita itu merebahkan diri di muka tuan residen mohon agar putranya tidak dipecat. Untuk memperkuat permohonannya, Raden Ayu menempatkan kaki Tuan Residen di atas kepalanya. Van Oudijck terharu, sesaat saja hatinya bimbang, tetapi hanya sesaat. Prinsip-prinsipnya tetap tak dapat digoncangkan. Ia berpegang teguh pada logikanya yang secara a priori telah ditetapkan. Dengan sangat hormat ia membebaskan kakinya dari genggaman ratu itu, dan mengulurkan kedua tangannya dan mengangkatnya dari ubin dengan penuh belas kasih dan terharu. Sebentar saja wanita tua itu mengira ia menang melihat sikap Tuan Residen yang lembut. Tetapi dengan tenang dan tegas orang Belanda itu menggeleng kepalanya. Raden Ayu Pangeran mengerti bahwa pembelaannya gagal.

Syahdan untuk membantu korban gempa bumi di Ternate diadakan suatu fancy-fair untuk orang Eropa di Laboewangi sedangkan untuk pribumi akan diselenggarakan suatu pasar malam. Rakyat kelihatan tegang karena ada desas-desus bahwa rakyat akan memberontak. Residen mencium siapa dalangnya, yang tak lain adalah Raden Ayu Pangeran. Maka, Tuan Residen pun berkunjung ke kabupaten dan dengan caranya yang halus berhasil meluluhkan Raden Ayu Pangeran.

Dalam pada itu, jauh sebelum fancy-fair diadakan, terjadi hal-hal aneh di sekitar rumah kediaman Tuan Residen. Kadang-kadang kelihatan sosok berpakaian putih di halaman muka, dalam pepohonan terdengar suara-suara asing, dan kadangkala bergelindingan batu di ubin. Di rumah Onno Eldersma, sang Juru Tulis, ada roh bicara lewat kaki sebuah meja, yang memberi tanda atas apa yang akan terjadi? Sampai pada suatu ketika, saat Nyonya Leoni Van Oudijck mandi, tiba-tiba tubuhnya diludahi dengan ludah yang berwarna merah. Dalam keadaan panik, Nyonya van Oudijck berlari keluar dari dalam kamar mandi dalam keadaan telanjang.

Sejak waktu itu, nasib buruk bertambah, dan rumah residens mulai kosong. Satu demi satu, para pembantu pindah karena ketakutan. Demikian juga dengan keluarga Van Oudijk lainnya. Namun, Residen van Oudijk tetap tidak percaya. Ia mendatangkan seorang Perwira Belanda dan bersama beberapa prajurit mengunci diri di kamar mandi semalam suntuk. Pagi mereka keluar kamar dengan pucat, lemas, dan bungkam. Bak mandi itu berwarna merah, dan cermin bergoyang-goyang pantulannya. Tuan Residen menghadap lagi pada Raden Ayu Pangeran, dan gejala-gejala itu menghilang. Rumah kediaman Tuan Residen kemudian dibersihkan. Kamar mandi itu dibongkar dan gejala-gejala itu menghilang. Lalu terjadilah hal yang mematahkan sang residen. Ia memergoki istrinya sedang bermesraan dengan Addy de Luce. Mereka bercerai dan Tuan Oudijck memutuskan untuk pergi dari Laboewangi. Ia mengaku betapa ia tak bisa memahami praktik-praktik kehidupan orang Jawa yang bersentuhan dengan alam gaib itu.

Louis Couperus mendapat banyak kritik atas roman De Stille Kracht ini karena menceritakan suasana erotis dan hubungan gelap dengan cara yang agak langsung untuk jaman itu.

Sinopsis          : Trilogi Ke-Indonesia-an
Sutradara      : Garin Nugroho
Produser        : Anastasia Rina
Produksi        : SET Film Workshop, 2004
Durasi              : 33 menit

Sebuah film esai.

rz-pelabuhan.JPG
Pelabuhan: (11 menit)
Pelabuhan, ambang dari laut dan pulau itu adalah pintu tempat orang-orang memulai sebagai berangkat dan tiba. Dan dengan itu pelabuhan seakan sebuah metafor dari perjumpaan yang bisa berarti juga dialektika, bisa pula ia adalah batas antara diri dan orang luar.

rz-aikon.JPG
Aikon: (11 menit)
Penanda adalah sebuah pernyataan identitas. Mengambil latar pergolakan politik di Papua pada sekitar tahun 2001, betapa bersliwerannya penanda-penanda di sana. Riuh penanda-penanda itu, apakah sebuah pernyataan identitas atau sebuah perayaan pasar konsumerisme tanda-tanda.

rz-layar.JPG
Layar: (11 menit)
Layar, di mana gambar dan bunyi bertautan dalam rentetan-rentetan itu adalah sebuah jendela tempat orang bisa menjenguk sebuah kenyataan dan mungkin juga kehidupan yang lain. Layar bisa mengantarkan sebuah bom yang meledak di sebuah ibukota negara di jarak ratusan mil itu ke dalam sebuah rumah di pojok ruang lewat media yang namanya televisi.

rz-vanderlak.JPG
Bedjo Van Derlaak
Sutradara    : Eddie Cahyono
Produser      : Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono, Narina Saraswati, Rah Aji Surya
Produksi      : Fourcolours Films, 2001
Durasi           :
30 menit

Indonesia 1948
Belanda melakukan agresi yang kedua, satu peleton pasukan Indonesia melakukan gerilya untuk sebuah misi, di tengah perjalanan mereka diserang oleh Tentara Belanda. Pertempuran terjadi. Bedjo, salah satu dari pasukan Indonesia terpisah dan menemukan sebuah rumah di tengah hutan yang di dalamnya terdapat Maryam, seorang perempuan yang akan melahirkan, juga Hendrik Van Derlaak, tentara Belanda yang ingin menolong Maryam. Kedua tentara itu terjebak dalam suasana yang sangat sulit dan dalam perdebatan yang terjadi Hendrik dengan leluasa membentak-bentak Bedjo sebagai bodoh, goblok dan idiot sekaligus juga memerintah, mendikte apa yang harus dilakukan Bedjo.
rz-ayis.JPG
Ayis [About Me. About You]
Sutradara        : Wimo Ambala Bayang
Produser          : Wimo AB & Zulhan Sasmita
Produksi          : […] Film, 2003
Durasi               : 12 menit

Ayis bocah berusia 13 tahun, besar dan tumbuh di Pasar Beringharjo Yogyakarta. Dengan kamera foto digital dan kamera cctv yang terpasang di jidat, Ayis berkeliling pasar, berdialog dengan rekan-saudara-kerabat dan membuat potret-potret mereka.Film ini adalah sejarah personal, proyek dokumentasi pribadi yang merekam kehidupan,  pergaulan Ayis, dan relasi emosi antara Ayis terhadap orang pasar dan orang pasar terhadap Ayis.

rz-bue.JPG     rz-buelagi.JPG
Berlari Untuk Entah
Sutradara        : Wimo Ambala Bayang
Produser          : Zulhan Sasmita
Produksi          : […] Films, 2002
Durasi               : 36 menit

“Sebuah cerita fiksi kebetulan”. Betul – betul diperankan oleh anak punk, betul-betul penyanyi dangdut, dan betul-betul Eros on 7, dengan mengambil setting dan karakter yang betul-betul dari latar belakang kehidupan para pemainnya. Eros adalah salah seorang anggota kelompok band terkenal asal Jogja, Sheila on 7.

Gepeng anak punk putus sekolah yang nge-fans berat sama Agnes Mohican –panggilan sayangnya pada Agnes Monica, artis remaja Indonesia yang sangat populer. Gepeng memiliki keinginan besar untuk kembali melanjutkan sekolahnya. Suatu hari Gepeng menemukan sebuah telepon genggam milik seorang penyanyi dangdut Purawisata Yogyakarta yang belum tentu merubah kehidupannya ……

rz-akuinginciuman.JPG

Aku Ingin Mencium Sekali Saja (90 menit)
Sutradara        : Garin Nugroho
Produser         : Anastasia Rina
Produksi          : SET Film Workshop, 2002
Durasi               : 90 menit

Arnold pemuda Papua, seorang pelajar SMU, melihat perempuan Jawa itu turun dari kapal di sebuah pelabuhan di daerahnya, dan ia jatuh cinta. Perempuan Jawa itu di tanah Papua tinggal beberapa hari untuk semacam ziarah dan satu pengakuan dosa. Satu kesempatan ketika sedang berdoa di gereja, rosario perempuan itu terjatuh dan Arnold menemukannya. Berhari-hari Arnold menyimpannya.

Sementara, teman Arnold yang diam-diam mencintai Arnold merasakan perubahan dalam diri Arnold. Kecemburuan pun diam-diam tumbuh, dan di daerah Papua yang digambarkan dalam suasana konflik itu rasisme menyelinap. Sonya dalam pengakuan dosanya tak hanya menggugat kecemburuannya pada perempuan Jawa itu tetapi juga pada Tuhan yang tak melahirkan Yesus sebagai bagian dari rasnya, juga rasa rendah diri yang tak terelakkan munculnya.

Kecemburan Sonya lunas manakala perempuan Jawa itu pergi dan Arnold menciumnya sekali saja di bawah rindang pohon sebelum berangkat sekolah. Dan itu terjadi beberapa saat setelah Sonya dengan sangat kasih mencium seseorang yang telah jatuh cinta padanya.

Dari dalam rumah Residen Van Oudijck, kita melihat sosok-sosok ras campuran Jawa-Belanda. Kita melihat baju koko potongan Cina, kursi goyang ukir dengan ragam tatahan –pahatan—gaya pesisiran yang kaya akan flora dan fauna. Kita, di film itu, juga melihat Raden Ngajiwa yang mengenakan beskap dan udeng dengan dasi kupu di bawah leher, minum minuman yang memabokkan dan meminta musik bermain –dan itu bukan gamelan. Di luar itu semua, kita juga menyaksikan van Oudijck yang mengalami shock menemukan bak mandi tiba-tiba berwarna darah, cermin yang memantulkan bayangan goyang, dan pejabat yang suka mabuk, juga berjudi.

Mungkin Indies adalah bertemunya budaya itu. Bertemunya Belanda dan Jawa, Belanda dan Padang, atau Belanda dan Papua. Tetapi bagaimanakah proses dialogal pertemuan itu? Otoritas yang bagaimanakah yang bermain? Bisakah dikatakan Indies adalah kuasa Tuan Residen yang merasa bisa memecat Ngajiwa lantaran suka berjudi dan mabuk? Atau Indies adalah kegamangan dalam bertemu dengan alam gaib? Alam yang berada di luar rasionalisme Tuan Residen? Yang itu berarti juga selingkuhnya Nyonya Residen dengan anak tirinya sendiri?

Lalu bagaimana ketika Jawa bertemu dengan Papua yang juga telah bertemu dengan Belanda? Otoritas yang bagaimanakah yang bermain, ketika Sonya perawan Papua yang Katholiknya tentu hasil pertemuan dengan Belanda itu cemburu pada Lulu Tobing? Perasaan yang bagaimanakah yang muncul dalam diri laki-laki yang bukan ras Irian itu dalam mensikapi pengakuan dosa dari Sonya yang menyiratkan kecemburuan rasisme? Adakah perasaan itu juga sama dengan perasaan Residen Laboewangi mendengar gugatan mabok Ngajiwa?

Indies mungkin sebuah perjumpaan budaya. Dan itu tak selalu harus sebuah rentetan pertanyaan. Ia, tentu bisa sebuah keriangan macam tawa Nyonya Residen dalam pelukan anak tirinya di atas ranjang besi di sebalik kelambu. Atau, semacam kegembiraan Ayis yang berjalan dengan kamera di tangan dalam pikuk pasar Beringharjo, yang kadang penuh warna tapi sering hitam-putih itu. Indies, mungkin adalah Bedjo van Derlaak. Mungkin juga, Gepeng yang nge-punk di belantara Yogyakarta sambil berlari untuk entah. Indies mungkin berseraknya ikon-ikon dalam pasar konsumerisme. Indies mungkin yang memandang, yang dipandang, yang merekam, yang direkam, yang membingkai, yang dibingkai.

 3. Pementasan Cerpen: Chalie Anak Betawi
Chalie Anak Betawi adalah judul pembahasan dalam buku Bianglala Sastra ketika membahas Chalie Robinson atau Vincent Mahieu atau Jaan Boon. Vincent Mahieu mengumpulkan beberapa cerpennya yang ditulis dengan setting atau latar cerita Indonesia pada masa-masa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Kumpulan cerpennya yang pertama diberi judul “CIS” dengan latar cerita Betawi yang kental dan memperlihatkan konflik-konflik sehari-hari dalam sebuah keluarga Indis. Cerpen kedua diberi judul “CUK”. Kumpulan “CUK” ini lebih kental suasana konflik bersenjata antara pihak Belanda dan Indonesia. Adapun latar cerita yang ditampilkan adalah kota-kota di seputar Jawa Timur. Dua kumpulan cerpen tersebut diterjemahkan oleh HB. Jassin dan diterbitkan oleh Djambatan. Dalam kesempatan ini akan dipentaskan cerpen-cerpen Vincent Mahieu dalam kumpulan “CIS” dan “CUK” yang akan disertai oleh cerpen Seno Gumira Adjidarma.

Pada tahun 1974 Chalie meninggal dunia di Nederland, satu tahun sesudah ia sempat melihat lagi “tanah asalnya”, abunya ditaburkan di Teluk Jakarta, di lepas Pasar Ikan, diiringi alunan lagu-lagu keroncong, mungkin satu-satunya warisan kaum Indo kepada bangsa Indonesia. Chalie lahir dari ayah seorang Belanda totok dan ibu yang Indo. Kakek ibunya seorang Inggris dan bernama Robinson yang kawin dengan seorang wanita Indonesia. Nama Robinson itulah yang kemudian dikenakan Jan Boon sebagai nama samaran yang praktis menjadi namanya yang kedua. Nama samaran lain yang pernah dipakainya adalah Vincent Mahieu – sebuah nama yang mengingatkan pada pendiri Komedi Stambul, Auguste Mahieu, yang ternyata masih terhitung sebagai paman.

Dengan itu, Chalie Robinson atau Vincent Mahieu atau Jan Boon, hidup dalam dua dunia yang berbeda-beda: yang satu yang diwujudkan oleh rumah orang tua dan sekolah, yang lain oleh jalan raya. Anak-anak yang hidup dan bergerak dalam dua dunia itu harus waspada untuk tidak membaurkan kedua dunia itu. Rumah dan sekolah adalah dunia Bahasa Belanda, sedangkan jalan raya adalah dunia Bahasa Pecuk –sebuah bahasa campuran antara Belanda dan Melayu dengan logat Betawi. Dua bahasa itu tak bisa dipertukarkan ruang sosiologis penggunaannya.

Chalie tumbuh menjadi seorang penulis: wartawan dan juru dongeng. Pilihan cerpen dalam Monoplay kali ini – meski dengan sangat terbatas — berusaha menilik kehidupan urban dari sebuah masa dalam sebuah lingkungan yang secara geografis sama, yakni Betawi yang sekarang Jakarta itu. Tentu narasi yang dihasilkan pastilah bukan sebuah gambar peta yang lengkap. Mungkin malah justru sekedar sketsa yang belepotan. Segi Tiga Emas dari Seno Gumira Ajidarma yang membincang Jawa dan seserpih jalan di Jakarta: Sudirman, Thamrin dan Gatot Subroto yang dikenal sebagai kawasan segi tiga emas tentulah sangat berbeda dengan Chalie yang Indo dan membincang tentang Betawi bersama kali Ciliwungnya. Imaji keduanya, Chalie dan Seno Gumira, atas Betawi, atas Jakarta, juga pastilah berbeda dengan imaji Jakarta yang hidup pada sebuah kepala orang di hari ini.

monoplay-1.jpg     monoplay-2.jpg     rz-monoplay-indies.JPG

Dalam sebuah majalah bulanan Orientatie yang pernah turut diasuh oleh Chalie Robinson, edisi bulan Desember 1949, menjelang penyerahan kedaulatan, sebelum orang-orang Indo-Belanda dipulangkan ke negrinya, dimuat sebuah karangan dari Chalie dengan judul Anak Betawi. Sepertinya, pada pintu jaman baru, Chalie ingin kembali ke masa mudanya dan menelusuri kembali segala lorong yang dulu pernah menjadi daerah petualangannya. Lalu apa yang akan dihasilkan oleh konfrontasi dengan masa silam?

Tentang Cerpen – Cerpen

Vivere Pericolosamente dari kumpulan CIS.
Memulai dongeng ini, Vincent Mahieu, memberi sebuah pertanyaan yang subtil: berapa banyak manusia yang menjalani kehidupan ganda? Berapa lamanya, kapan kedua kehidupan itu tabrakan dan bagaimana terjadinya kehidupan yang demikian? Kadang-kadang timbulnya karena rumah yang mempunyai kehidupan ganda. Ada rumah-rumah seperti itu, yang dengan bagian mukanya yang respektabel menghadap ke jalan yang respektabel, tapi yang pintu belakangnya menghadap ke sebuah gang di daerah gelap. Betapa banyak petualangan dilakukan dari pintu belakang seperti itu dan betapa banyak penderitaan bahkan kebinasaan disebabkan karenanya.

Pagar dari kumpulan CIS.
Dalam cerpen Pagar ini terkisah bagaimana seorang pegawai yang taklid menabung harapan-harapannya akan harga diri, kebanggaan, yang dibentuk oleh kenaikan pangkat menjaga harapan-harapan itu dalam sebuah tegur sapa yang absurd dengan tetangga. Dan pagar, sebagai sebuah ambang atau batas dalam bertetangga yang sebenarnya bisa tersentuh dengan tangan itu pada kenyataannya bisa menjelma sebagai jurang psikologis dan sosiologis yang menganga dan mencemaskan bersama berbagai ornamen kehidupan yang disebabkan oleh ilusi kehidupan itu sendiri.

Dasi dari kumpulan CUK.
Dasi bercerita tentang seorang pegawai rendahan yang bernasib baik mendapatkan promosi untuk jabatannya. Bersamaan dengan itu seorang teman baik memberikan hadiah sebuah dasi. Pertemanan dua orang berlainan jenis ini yang pada mulanya tak terganjal hal-hal sepele, –justru bermula dari dasi itu yang juga menengarai perubahan status—membuat beberapa persoalan hadir tanpa berani dicetuskan sehingga hanya menjadi kegusaran pribadi. Cerpen ini tampaknya secara romantik ingin mengatakan bahwa materi yang dulu diharapkan justru menjadi petaka ketika menjadi kenyataan.

Segitiga Emas – Cerpen tamu karya Seno Gumira Ajidarma
Alkisah, sebuah super mall di kawasan  segi tiga emas Jakarta; Sudirman, Thamrin, Gatot Subroto, diresmikan. Peresmian ini dilaksanakan dengan sebuah pementasan wayang kulit dan mengambil lakon Sumantri Ngenger. Tetapi ketika adegan wayang tiba pada adegan permintaan Dewi Citrawati memindahkan taman Sri Wedani, ternyata permintaan itu diganti dengan berpindahnya seluruh kawasan segi tiga emas. Sang Dalang pun akhirnya tak dapat membendung niat Dewi Citrawati.

Empat cerpen ini dipentaskan dengan empat model. Ibnu Gundul mahasiswa jurusan teater Intitut Seni Indonesia Yogyakarta, memilih mementaskan cerpen Pagar dengan cara membaca diiringi tiga pemusik. Dua pemusik memainkan gitar, satu pemusik  menggesek biola. Cerpen yang berjudul Pagar pun mengalir di antara denting gitar dan gesekan biola. Yang menarik, cerpen yang ditulis dengan latar cerita pada sekitar tahun 1915 ini muncul dalam aroma bunyi jaman sekarang. Nada-nada yang dihasilkan, pola jalinan irama, tak dimainkan dalam langgam keroncong yang barangkali bisa mengacukan ke jagat yang lama itu. Nada dan pola irama itu justru mengasosiasi ke jaman musik populer belakangan ini. Ibnu, seakan juga tak menghadirkan jarak antara dirinya dan tokoh narator di dalam teks cerpen yang dibacakannya –setidaknya, apabila hal ini dibaca dari kostum yang dikenakan, yang tidak dibedakannya antara di pentas dan bukan pentas dalam peristiwa malam itu.

Tendensi menghadirkan jaman lama itu sempat muncul dalam cakapan Adi Marsono yang kerepotan mencari lagu-lagu berbahasa Belanda yang dia bayangkan menjadi bumbu pemanis pementasannya. Adi, aktor kelahiran tahun 74 ini dan sempat menjalani pendidikan Antropologi di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta, membangun pementasannya dengan model pembacaan. Adi yang terbiasa dengan kaos oblong untuk busananya sehari-hari, malam itu datang ke KKF dengan baju lengan panjang yang digulung sampai sebawah siku. Dengan penampilan baju yang rapi itu, dan juga bersepatu, Adi membacakan cerpen Vivere Pericolosamente.

Berbeda dengan Ibnu dan Adi, Wiro aktor yang kuliah di sebuah akademi bank di Yogyakarta membangun pementasannya dengan cara menghapal teks cerpen dari Seno Gumira Ajidarma. Pilihan menghapal ini memberikannya keleluasaan bergerak tanpa terganggu teks yang mesti dipegangnya. Sequel-sequel adegan dalam cerpen pun coba dimainkannya sebagai adegan. Adegan-adegan wayang dibangunnya dengan tarian yang merujuk pada gerakan tarian wayang orang. Celana komprangnya yang berwarna hitam, dan kaos oblong yang terkesan kumal mengingatkan pada para petani yang sedang bekerja di sawah di pinggiran kota Yogya. Pola pemeranan Wiro yang keluar masuk antara teks cerita dan realitas keseharian menghadirkan suasana yang memancing tawa.

Pementasan Teater Alto yang memainkan cerpen Dasi menutup peristiwa Monoplay. Dramatisasi cerpen yang diberlangsungkan Teater Alto menghadirkan sequel-sequel cerita dalam cerpen itu sebagai adegan-adegan di atas panggung. Penghadiran adegan ini memberikan kerepotan tersendiri di wilayah penciptaan setting panggung untuk memberikan rujukan atas ruang peristiwa cerita yang berpindah. Dengan menggunakan tiang-tiang yang mudah diangkat dan ringan sebagai bingkai dari lembar-lembar plastik yang ditata secara mudah untuk digulung, digerai-turunkan, dan diangkat-dipindahkan, Teater Alto menyiasati sektor keruangan peristiwa cerita itu. Teknik ini dipadukan dengan dibangunnya layar-layar yang diturunkan dari atap-atap ruang yang mengandaikan pola teater proscenium. Layar-layar itu membentang dalam ukuran selebar satu meteran baik di sisi kanan dan kiri permainan maupun sebagai scenari di dinding belakang pentas. Layar-layar yang dibuat dari kertas-kertas koran ini menolong para pemain yang tidak sedang beraksi untuk sembunyi dan secara cepat menyelinap ke dalam pentas untuk menata set-set yang menandai pergantian adegan. Pilihan penggantian adegan seperti itu, ringkas dan cepat, mengingatkan pada ragam video klip yang sering terlihat di televisi. Lebih lagi pilihan musik yang mengiringi, yang hadir dengan beat yang sering cepat dan dihasilkan dari komputer, seperti menegaskan aroma video klip itu.

Pilihan dengan menghadirkan pengandaian perpindahan ruang dalam peristiwa cerita sebagaimana dalam teks cerpennya seperti meniadakan potensi dialog sebagai penyampai informasi yang memberikan kemungkinan untuk membatasi ruang peristiwa panggung tanpa memangkas plot naratifnya. Peristiwa yang terjadi dalam ruang dan waktu terkesan bernilai absolut untuk harus hadir. Dinamika perubahan ini sepertinya justru yang menjadi penyegar pementasan dramatisasi cerpen dari Teater Alto. Pilihan ini seakan menafikan kaidah lama dari dramatika lakon yang menyandarkan diri pada konflik tokoh dengan pergulatan pilihan-pilihannya. Taruhlah tradisi teaternya Beckett yang bercakap.

Teater Alto sebagai sebuah kelompok teater masih terbilang muda. Kelompok ini didirikan pada sekitar tahun 98. Para pendirinya adalah alumnus SMU De Britto di Yogyakarta. Anggota dan para pendiri itu, saat ini kebanyakan masih aktif sebagai mahasiswa yang rata-rata tercatat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Menikmati empat pementasan cerpen itu, seperti sedang bertamasya ke ruang-ruang otoritas kreatif senimannya.
(Kedai Kebun Forum)

PELEMBAGAAN IDENTITAS
POSKOLONIAL KONSUMTIF
Oleh Primanto Nugroho

rz-primantonugrohos_photo04.JPG
Entah itu indies atau indonesia, ada 1 pembeda keadaan yang tegas antara tahun 2004 dengan masa 60-an tahun sebelumnya. Hari-hari ini siapapun juga orang berkartu identitas RI ketika berhadapan dengan lingkungan di luar Indonesia akan dengan mudah menemukan dirinya merasa malu, gagap, dan penuh rasa tak percaya diri, atau pendek kata adalah gejala inferiority complex maupun saudara kembarnya kompensasi dan over kompensasi. Berbeda dengan, misalnya saja selepas revolusi (!) kemerdekaan Indonesia ketika sekelompok seniman di Paris yang dengan sehati-seperasaan bersama setiap nasion yang melepaskan diri dari kolonialisasi menyampaikan lukisan-lukisan kepada bangsa Indonesia. Seorang pria asal Sunda yang ditugaskan Bung Karno mengurus  penerimaan karya-karya tsb, di kemudian hari bercerita bahwa saat itu keindonesiaan sama sekali tidak identik dengan rendah diri –di hadapan londo yang paling putih secara kulit maupun secara kultur sekalipun!

***

Terbelah, tercabut, terasing.

Adakah yang lebih mengena ketimbang ketiganya untuk mengungkapkan entah yang indies, entah yang indo? Dengannya bisa kita jejerkan, selaku simbol, baik sosok Teto sang raden mas sinyo dalam roman Burung-burung Manyar karya YB Mangunwijaya maupun sosok Annelies dan kakaknya Robert serta Robert Suurhoof dalam tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, yang dalam masyarakat posisinya sungsang: di 1 sisi orang Indo dianggap sebagai orang Eropa dalam cetakan yang tak sama, sedangkan dari sudut pandang orang kulit putih berdarah Eropa, letak orang Indo adalah setingkat lebih rendah dari mereka.

Namun sastrawan Mangunwijaya dari Jogja di akhir tahun 1984 berujar;

”Jangan kira bahwa mayoritas bangsa kita dulu sama-sama patriot seperti Bung Karno dan Bung Hatta.Pada masa itu (sekarang masih?), bangsa kita tidak kalah terhadap kaum penjajah perihal ini: benar-benar kolonial.Selera kita sudah bukan Jawa murni, Maluku murni, Batak murni, dan sebagainya, tetapi kita semua kaum Indo. Masyarakat Indo adalah masyarakat yang dalam penghayatan realita hidup dan kebudayaannya terbelah; lebih dari itu allienated.Setengah asing terhadap diri sendiri, apalagi terhadap situasi dan keadaan sekelilingnya.Demikianlah kita semua”. [1]

Lantas, Londo atau Cino itu apa? Seperti juga yang Jawa itu yang bagaimana, yang Batak, yang Bali itu yang seperti apa? Adakah yang paling Hindu, yang lebih Islami, yang Kristiani itu yang seperti apa?

Seberapa jauh tanah dan penghuni Papua dalam rekayasa audio-visual berupa film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja dipertunjukkan tidak hanya dari sisi keindahan alam atau keunikan busana, gerak tari dan logat bahasanya? Seberapa jauh crew film yang disutradarai Garin Nugroho berikut teknologi pengolahnya yang didatangkan dari bekas Batavia bergerak keluar atau malah semakin masuk dalam belenggu maya bernama ‘persatuan dan kesatuan’?

Pernah sastrawan Mochtar Lubis berpidato di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1977 tentang Manusia Indonesia.Yang muncul adalah sederet pernyataan tentang segi-segi mental manusia di Indonesia. Kendati tidak jatuh dari langit namun pernyataan tetap tinggal pernyataan. Bisa dirasakan di 1 atau 2 sisi, tetapi selebihnya  sangat tergantung pada kenyataan kasat mata di mata sang sastrawan himself.  Begitu juga dengan seorang penanggap pidato itu yang datang dari Fakultas Psikologi UI, banjir pernyataan atas pernyataan. Tak lebih. Demikianlah nasib identifikasi keindonesiaan, terkunci pada pernyataan mental dan gampang berhenti pada lapisan tindak-tanduk sebagai tindak-tanduk itu sendiri, to the behavior itself.

Di atas semua itu, pada tingkat nation, dan selepas peralihan kekuasaan di Jakarta pada akhir dekade 1960-an, tak ada yang lebih gamblang mempertontonkan pembekuan sekaligus pembakuan keindonesiaan ketimbang proyek Mini. Jika pada masa Hindia Belanda muncul cara pandang mooi Indie dan bergandengan tangan dengan angle  van Sabang tot Merauke yang bertitik pusat di Batavia maka Taman Mini Indonesia Indah di bekas Batavia adalah proyek penghadiran keindonesiaan selanjutnya. Dengan menaiki kereta gantung yang bergerak pada kawat di atas pulau-pulau buatan untuk menggambarkan kepulauan Indonesia maka orang dibawa ke posisi di awang-awang dan membayangkan pulau Jawa di antara the outer islands sebagai teritori yang seolah-olah bukan koloni. Dengan memasuki anjungan-anjungan yang mau menggambarkan keragaman budi-daya berbagai kelompok masyarakat di seluruh Dati 1 di Indonesia maka orang diingat-ingatkan akan rapihnya taman Indonesia dalam skala mini sambil diharap untuk melupakan rantai sosial di sekelilingnya. Begitulah maka anjungan Timor Timur diwakili oleh rumah adat Los Palos, seperti anjungan Sulawesi Selatan menggunakan rumah adat Toraja. Baik Los Palos untuk tanah Timor maupun Toraja bagi Sulawesi Selatan sesungguhnya ada dalam tarik-menarik dengan  yang bukan Los Palos –termasuk yang dibakari oleh satuan ABRI dalam rangka resettlement orang Timor Timur agar mudah dikendalikan dalam rumah kaca raksasa–  dan yang bukan Toraja. Pelenyapan tarik-menarik dalam rantai sosial itulah yang membawa budaya menjadi beku.

Seperti suasana maupun cara hadir museum-museum di Indonesia yang dekat dengan kepengapan dan kesuraman maka budaya masyarakat Indonesia dipilah-pilah, diiris-iris dan diperagakan dalam paket-paket. Museum yang pada dasarnya adalah sarana penggandeng serpihan-serpihan budi daya, budi bahasa, dan cita rasa makhluk hidup dengan milieu-nya malah dalam praktek menjadi bagian dari rantai pembakuan memori. Antara museum di lokasi Monumen Pancasila Sakti dengan museum tekstil atau museum wayang tak lagi bisa dibedakan isinya: fiksi yang diilmiahkan lalu diperagakan ataukah sesungguhnya ia fakta serta peristiwa?

Di luar Taman Mini, di tangan birokrasi negara, identitas dijadikan isian kartu wajib. Sensus adalah piranti pembakuannya dan kantor statistik menjadi operatornya. Sejarah sensus adalah sejarah kekuasaan pengetahuan untuk social engineering. Baik di masa Raja Herodes berkuasa maupun  ketika sensus di Kepulauan Indonesia diatur dari kompleks kantor statistik pusat di pinggir Pasar Baru, Jakarta, operasi pengetahuan itu bekerja dengan mekanisme yang serupa. Ia memproduksi sekat tanpa bata dan semen. Melalui sensuslah keaslian orang dijadikan nomor hitungan.

Ruang sosial menjadi sugestif sehingga penuh dengan ilusi. Fakta dan fiksi bercampur-aduk. Psikologi laku keras untuk meneguhkan narsisisme, sementara pada saat yang sama sosiologi yang mampu merangkai jalinan 1 peristiwa dengan peristiwa lain disingkirkan. Hukum pasar menjadi dogma tanpa 1 titik pusat. Pohon gosip dan prasangka berbuah lebat, sementara masyarakat dikosongkan terus-menerus dari informasi dan diganti dengan banjir bandang komodifikasi informasi.

Kembar siam nalar kriminal dan nalar siluman bergentayangan.

Dengan kriminalisasi maka peristiwa politik antar kekuatan warga negara dialihkan menjadi tindak kejahatan antar orang. Sementara dengan nalar siluman, perangkat bernegara dipersempit menjadi oknum dan barang bukti yang dapat dibikin-bikin  maupun dilenyapkan. Ia ada dalam mesin reproduksi, bisa dibikin-bikin, juga bisa dilenyapkan seperti nasib barang bukti kasus Marsinah dan kasus Udin. Juga seperti bayangan para londo di tahun 1974 tentang oost indie yang penuh dengan santet dan tenung sebagaimana ditampilkan melalui film De Still Kracht. Tak beda dengan nalar yang bekerja di balik maraknya film-film misteri dan acara-acara bertopik hantu yang diperjual-belikan melalui industri televisi di Indonesia pada tahun-tahun belakangan ini. Kemacetan produksi yang berangkat dari realisme ditambal-sulam atau dialihkan dengan mengada-adakan cerita-cerita non-realis.

Bahaya bagi setiap karya berpengetahuan dan berkesenian  dalam ruang sugestif ialah tanpa sengaja selalu menjadi reaksioner. Dengan kata lain, karya seni bisa terus dibuat –apapun pretensinya, apapun ide dasarnya- namun ketika dilihat dari jarak tertentu segera tampak bahwa segenap pergulatan estetika terjadi di dalam pulau kekayaan di tengah lautan kemiskinan …….

Bukankah tali-temali keadaan seperti itulah yang kemudian mempersulit baik Garin Nugroho, maupun Wimo Ambayang, Tita Rubi, dan para seniman lain dalam acara Membuka Koper Indies di Kedai Kebun ini? Film, seni rupa, dan cerita pendek karya ‘orang kita’ yang dihadirkan di Kedai Kebun dalam tema Indies ini punya 1 kesamaan, yakni berada dalam ruang sosial yang selama sekitar 3 dasawarsa tenaga bergeraknya didatangkan dari luar tapal batas negeri sebagai suntikan obat kuat. Yang disebut tenaga bergerak itu bisa berupa :
a.    Hutang luar negeri, hibah, maupun modal asing –yang kemudian tenar di era 80-an dalam arus pikiran teori ketergantungan dengan istilah the debt trap;
b.    Paket-paket ilmu pengetahuan dan perangkat teknik berkebudayaan –sehingga juga di era 80-an para ilmuwan sosial riuh berujar tentang indigenisasi ilmu sosial dan teknik grounded research, di jagad sastra riuh-rendah suara tentang sastra kontekstual, sementara organisasi non-pemerintah mulai beranak-pinak dengan mengusung tema keswadayaan masyarakat namun hingga naskah  ini ditulis tetap di titik swadaya itu pula terletak titik lemah ketergantungan dalam menghidupi diri sendiri. Artinya, semakin keras suatu hal diungkapkan, ternyata justru hal yang sebaliknyalah yang terjadi.

Boleh jadi di antara seluruh silang-sengkarut identitas itu nama Pangemanann –dengan 2 n!- menempati posisi tersendiri. Ia orang Manado dan justru itu, pribumi yang menempati lapis atas kuasa gubernemen Hindia Belanda di Buitenzorg. Sekali lagi kita tengok naskah dari tetralogi Pulau Buru, kali ini pada jilid pemungkasnya, Rumah Kaca.

Sebagai kolaborator, dan di mana pun di muka bumi kolaborator selalu muncul, ia akrab dan bahkan hidup di dalam keterbelahan. Di 1 saat si 2 n ini  merasa mantap menghantami musuh-musuh pemerintah kolonial, di saat lain rasa muak pada tindakannya sendirilah yang menyeruak, baik terhadap si Pitung maupun pada Tuan T.A.S. yang diam-diam dikaguminya tapi yang sekaligus ia sendiri pula yang mengatur pengawasan, teror, penangkapan, pembuangan ke tanah Maluku, sampai ke pembinasaan –secara perdata maupun secara fisik.

Pangemanann dengan mudah bisa kita ganti dengan Lopez da Cruz.

Tahun 1996, ketika Uskup Belo dari tanah Maubere menerima hadiah Nobel terjadi sebuah wawancara menarik di siaran CNN. Pewawancara Jonathan Mann menanyai Lopez da Cruz yang saat itu menjadi salah satu wakil Republik Indonesia untuk urusan Timor Timur, “Bung Lopez, anda adalah orang Timor-Timur yang bekerja untuk kepentingan Jakarta. Sebetulnya di sisi manakah Anda berpihak?” Gagap yang nyaris menjadi gagu adalah pemandangan yang menyusul kemudian di layar televisi.

Selanjutnya Timor Timur terus tercatat dalam sejarah sebagai suatu kasus telanjang pengkhianatan (kaum petinggi) Indonesia masa 25 tahun terakhir abad 20 atas semangat yang tertera dalam preambule konstitusi 1945 bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.

Arah pertanyaan tentang ‘berpihak’ seperti itu tadi bisa ditujukan ke dada setiap orang di Indonesia. Siapa saja bisa melihat bahwa hal yang disebut pembangunan membawa hasil konkret berupa terbentuknya ‘pulau kekayaan di tengah lautan kemiskinan’. Terhadap praktik semacam itu ‘mata dan telinga orang Indonesia’ berpihak di sisi sebelah mana? Akan melanjutkan kebiasaan cara pandang mooi Indie atau bersama penyair binatang jalang meneruskan napas Karawang-Bekasi?

Lalu bila naskah Rumah Kaca ditutup dan kita bergerak menuju ke tanah Minahasa maka pemandangan lain tentang keterasingan pun dapat disimak. Dalam hitungan tak sampai 2 abad ke belakang telah berlangsung suatu cara hidup yang di kemudian hari dikenal luas sebagai ciri khas orang-orang yang tinggi kepeduliannya pada tubuh pribadi, lengkap dengan selera kenyamanannya. Setidaknya sejak lepas Perang Jawa di perempat pertama abad 19 yang lalu, Minahasa –bersama Maluku dan Timor- tercatat sebagai locus pemasok tenaga manusia dari luar Jawa bagi kesatuan KNIL. Di luar perkara penilaian post-factum atas keberpihakan pada masa kolonial, suatu praktik hidup kolektif yang menggantungkan hidup pada pasokan gaji rutin bulanan sedang terjadi dari 1 generasi ke generasi selanjutnya. Gaya berkeluarga –termasuk beragama- dan cara mengatur rumah tangga dari kalangan yang secara rutin memperoleh upah sebagai hasil kerjanya menjadi tenaga sewaan mesin kolonial ini yang membedakan secara tajam dengan sesama bumi putera. Kulit bisa sama berwarna tapi pasokan hidup yang tak samalah yang membedakan. Suatu lapis masyarakat yang hidup kesehariannya tertata rapih dalam satuan-satuan keluarga yang penuh dengan jadwal dan rencana serta selera tertentu inilah yang melalui kasus Minahasa membawa kategori indies dan indo keluar dari batas biologis warna kulit dan masuk ke ujaran Mangunwijaya di atas tentang ‘keindoan’ kita.

***

Pada tahun 1999 terbit sebuah buku yang memuat  biografi singkat beberapa anak muda Nahdlatul Ulama. Judulnya, Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural. Disebutkan oleh editornya bahwa generasi muda NU hidup dalam kultur hibrid oleh keterlibatannya baik dalam pendidikan tradisional pesantren maupun lewat jalur pendidikan sekuler yang diikutinya. Mereka, demikian disebutkan, umumnya memperoleh pendidikan sekular atau campuran antara pesantren dan sekuler, yang kemudian berhasil melakukan sintesis-sintesis secara kreatif dan memperkaya khazanah kultural NU.[2]

Hibriditas dalam kasus NU seperti disebut dalam buku itu rupanya masih cukup sopan. Seperti jagung, ia masih terlacak derajad rekayasanya. Tetapi ini: Kultur Indies! Secara garis keturunan inilah anak yatim piatu proyek pembangunan. Sedangkan jika mengikuti kegemaran periodisasi sejarah di Indonesia, inilah generasi mutan!

Mengagul-agulkan maupun mecemaskan bayangan akan kulit putih dan wajah indo di panggung seleb adalah gambar telanjang kesalahan gen secara kolektif.

Oleh karenanya pertanyaan tentang ke-indies-an kita bisa diibaratkan seperti menanyakan tinggi tubuh dengan skala kilogram. Pertanyaan tentang indies hendaknya tidak dilepaskan dari jaringan pelembagaan dan praktik sosial yang menyapih ‘identitas kolektif’ dalam wujud: agamisasi, mekanisasi sekolah, manajemen kekerasan, dan lembaga ekonomi yang tak pernah beranjak dari posisi infant industry. Keempat wilayah berbudi-daya itu berada dalam genggaman rekayasa ideologi.

Dalam rumusan berbeda dapat diungkapkan bahwa indies sebagai topik identifikasi kiranya bukan merupakan kenyataan psikobiologis melainkan lebih merupakan praktik sosial dalam batas ruang dan waktu yang tertentu.

Poros putaran keadaan dalam ruang sosial sugestif tak pernah bisa tunggal. Sebagai bentuk nalar konsumsi ia selalu bermuka dua dan datang sebagai wajah Dewa Janus. Pada 1 sisi wajah itu berwujud rupa-rupa kenikmatan egosentris –yang meneruskan angle mooi indie–, sementara pada sisi sebaliknya tak lain adalah kekerasan, kekerasan, dan kekerasan. Jika pada sisi pertama wajah Janus itu muncul melalui film dokudrama berjudul Pengkhianatan G30S/…., maka pada sisi sebaliknya yang ada ialah film Ada Apa dengan Cinta sampai ke paket acara Akademi Fantasi. Pada sisi pertama lembaga penggeraknya adalah birokrasi sekolah yang sepenuhnya dikendalikan oleh state apparatus. Sedangkan pada sisi sebaliknya segenap gegap-gempita antrean penonton film maupun pengirim SMS sepenuhnya bergerak sebagai irama konser dengan tangan korporasi sebagai konduktornya.

***
Catatan kaki

1] YB Mangunwijaya, 1984, ’Pengakuan Seorang Amatir’, dalam ‘Mengapa & Bagaimana Saya Mengarang’, Pamusuk Eneste, Jakarta,1986, Gunung Agung, hlm.104

2] Hairus Salim HS dan Muhammad Ridwan (eds),1999,’Kultur Hibrida:Anak Muda NU di Jalur Kultural’,Jogjakarta,LKiS, hlm. 17

Indis dalam Indonesia Masa Kini
oleh Nuraini Juliastuti, KUNCI Cultural Studies Center

rz-photo-nuning.JPG

Sebelum Jepang datang, atau suatu periode yang disebut sebagai masa “bersiap”, secara umum bisa dikatakan bahwa golongan indo: baik mereka yang berkelahiran Eropa dan tinggal di Hindia, atau mereka yang mempunyai keturunan campuran (pribumi-Eropa), menikmati posisi sosial-ekonomi yang lebih baik dari penduduk lainnya meskipun dalam tataran masyarakat Belanda yang tinggal di Hindia, golongan ‘sinyo’ atau anak Eropa berdarah campuran biasanya memiliki status ekonomi lebih rendah. Masa kedatangan Jepang pada 1942 dan masa menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi masa yang menyedihkan bagi kalangan Indo yang ada di Indonesia. Anton Lucas menyebut peristiwa pembunuhan terhadap kaum Indo pada masa awal Republik Indonesia di bulan-bulan akhir di tahun 1945—sebagai hubungan dengan Peristiwa Tiga Daerah—sebagai ‘masa-masa kacau’. Mereka mengalami anarki paling hebat terutama karena mereka dipandang sebagai orang-orang asing dengan kedudukan ekonomi yang istimewa, serta ada prasangka rasial kuat yang jadi salah satu pemicu berbagai kekacauan tersebut. Pada masa Indonesia kini, golongan Indo mengalami suatu periode yang kembali menyenangkan. Sekarang, fakta mempunyai keturunan keluarga ras campuran menjadi penemuan yang menyenangkan, karena itu artinya tampang “bule” (begitu biasanya orang di Indonesia menamakan seseorang dengan wajah campuran) menjadi pintu masuk yang potensial untuk menjadi artis/selebritis. Artis, selebritis, dunia hiburan, panggung televisi, bagi saya merupakan wacana penting dalam wacana budaya kontemporer Indonesia; dan karena itu kiranya tetap relevan untuk berbicara mengenai fenomena hubungan wacana indo ini pada masa Indonesia paska-kolonial.

Kisah Bertrand Antolin (ayah: Thierry Robert Juhel [Perancis]; ibu: Jennonica Vernorita [Riau] ), yang masa sekolahnya dulu hampir tiap hari dikerjain preman sekolah lain karena setiap hari selalu ada barang bawaannya yang hilang memberikan pengakuan; “Karena tampang gue bule, mereka piker gue anak orang kaya dan barang gue mahal-mahal. Pernah gue pulang sekolah habis-habisan karena sepatu gue diminta, jam tangan gue juga. Padahal sepatu gue enggak pernah lebih dari merek Bata. Dan jam tangan gue itu gue beli di emperan, paling harganya lima ribu. Karena jumlah mereka banyak banget, gue nggak berani dan takut dikeroyok. Makanya gue serahin deh semua barang gue…” (Meteor Indonesia, 2004: 12).  Satu poin dari kisah ini adalah tampang bule/indo berarti identik dengan orang kaya.
Kisah Indra L.Bruggman (ibu: Indonesia, ayah: Indo-Belanda): “Di usia belasan, Indra tumbuh jadi lelaki muda yang tampan. Ayahnya memang Indo-Belanda. Menyadari kelebihan itu, didorong oleh seluruh keluarga, ia mencoba mengikuti pemilihan model sampul di majalah remaja…” (Meteor Indonesia, 2004: 22).

Jika ingin mengurutkan satu demi satu, kita masih bisa menyebutkan deretan panjang artis-artis Indo di Indonesia: Chintami dan Minati Atmanegara (Indo-Jerman), Ryan Hidayat (Indo-Cekoslowakia), Dian Nitami dan Agnes Monica (Indo-Jepang), Marisa Haque (Indo-Pakistan), Bucek Depp (Indo-Arab).

Indo mengandung makna yang saling bersilang di dalamnya. Ia bisa dikatakan berwajah ‘putih’, terutama jika dibandingkan dengan warna kulit sebagian besar masyarakat Indonesia yang sebagian besar berwarna kekuningan atau sawo matang. Bisa pula dikatakan ia –juga bisa– mewakili representasi kecantikan utama dunia yaitu berkulit putih. Meskipun ia juga tidak bisa dikatakan 100% ‘putih’ karena mungkin hanya pihak ayah atau pihak ibunya saja yang berkulit putih, atau bahkan mungkin ia mendapatkannya dari pihak kakek dan nenek. Sehingga mereka hanya 50% putih atau 25% putih. Ia ‘global’ sekaligus juga ‘lokal’. Dan mesin besar kapitalisme, yang diperkuat oleh globalisasi, menyerap wajah-wajah indo ini dalam pasar dunia iklan atau hiburan, karena merekalah yang mewakili arus utama kecantikan atau ketampanan di masyarakat.

Pada perkembangan berikutnya, kita bisa melihat representasi wajah-wajah lain yaitu mereka yang berkulit hitam atau kebangkitan luar biasa wajah-wajah oriental. Untuk kasus Indonesia kita tentu juga masih dapat mengingat deretan artis-artis keturunan Tionghoa yang meroket namanya setelah popularitas serial televisi Meteor Garden (Leony, Fery Salim, Roger Danuarta, dsb.). Kapitalisme selalu membutuhkan pasar yang luas, termasuk keinginan untuk juga diterima di ruang-ruang yang spesifik. Inilah saya rasa salah satu poin yang bisa menjelaskan peningkatan wajah-wajah kulit gelap atau oriental. Sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa wacana atau gagasan tentang ‘putih’ juga berubah-ubah. Di majalah perempuan semakin sering dijumpai tulisan tentang tips perawatan kulit bagi mereka yang berkulit gelap. “Biar Kulit Hitam Asal Tetap Sehat”, begitu kira-kira katanya, lengkap dengan paparan kosmetik jenis apa saja yang bisa dipakai untuk kepentingan kulit gelap yang dibicarakan itu.

Dalam bagian di atas, kita berhadapan dengan hibridasi organik, yang timbul karena perkawinan campuran antar ras; sekarang marilah kita berbicara perihal hibridasi non-organik sebagai percampuran konsep kebudayaan yang berbeda-beda. Gagasan bahwa identitas kebudayaan selalu bersifat tidak stabil menuju pada pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas itu selalu merupakan percampuran dan pertemuan berbagai kebudayaan dan identitas.

Kasus Bahasa:
Persoalan Bahasa Belanda vs Bahasa Melayu misalnya sudah menjadi bahan perdebatan pada jaman pergerakan Indonesia antara Sarikat Islam dan Budi Utomo. Apakah sebaiknya setiap pembicaraan mengenai nasib republik ini dibicarakan dalam bahasa Belanda atau bahasa Melayu? Dalam Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, terjadi perdebatan antara Minke—yang selalu menulis dalam bahasa Belanda—dengan Kommer yang menerjemahkan artikel-artikel Minke dalam bahasa Melayu dengan alasan; “sehingga pembaca yang berbahasa Melayu simpati kepada perjuangan Minke yang sah”.

Sutan Takdir Alisyahbana mengutarakan hal yang menarik berkaitan dengan bahasa Belanda sebagai pengkatrol posisi sosial: “Selama 25 tahun pertama abad 20, orang Indonesia berulangkali minta kesempatan lebih besar agar anak mereka boleh belajar bahasa Belanda. Akibatnya bahasa Belanda mendapat kedudukan yang amat penting dalam masyarakat Indonesia. Ini tidak hanya menjadi prasyarat untuk melanjutkan pendidikan Barat bagi seseorang tetapi juga untuk mendapat pekerjaan yang gajinya tinggi. Bahkan lepas dari ini, mampu belajar bahasa Belanda lama kelamaan menjadi tanda sebagai bagian atau termasuk kelas tinggi baru dalam masyarakat Indonesia” (Allen 2004: 225).

Saat ini di Jakarta terdapat banyak sekolah—dari SD hingga SMU—yang menamakan dirinya sekolah internasional karena mereka mengatakan memakai kurikulum yang berbeda dari sekolah lain, dan pelaksanaan belajar-mengajar menggunakan bahasa Inggris. Bentuk sekolah macam ini banyak diminati oleh para orang tua di Jakarta. Kelancaran berbahasa Inggris menjadi salah satu penanda keberhasilan seorang anak.  Ada percampuran kuat antara usaha untuk berhasil dalam persaingan di tingkat global—yang kerap disederhanakan dengan hanya pandai berbahasa Inggris—dengan harapan untuk memperoleh status sosial terhormat di masyarakat lokal. Pasar dunia kerja di Indonesia menempatkan lulusan sekolah luar negeri—apapun itu—dalam jenjang yang lebih tinggi. Satu bulan lalu saya masih membaca iklan lowongan redaktur pelaksana Majalah Femina yang dalam salah satu syaratnya tertulis: diutamakan lulusan luar negeri.

Antariksa dalam Identitas Hibrida (Newsletter KUNCI ed.6-7) menyebut dengan jelas bahwa dalam budaya anak muda, gaya menjadi aparatus identitas anak muda yang terpenting dan karena itu menjadi arena hibridasi yang utama. Beberapa contoh bisa disebut di sini: musik rap yang dinyanyikan dalam bahasa Indonesia dan Jawa (Neo, Iwa K, G-Tribe), internasionalisasi musik (rock, rap, hip metal, punk), internasionalisasi merek (MTV, Nike, Adidas), atau internasionalisasi olahraga (NBA, sepak bola Itali atau Inggris, dsb.), atau model rambut yang dicat pirang, dijadikan model rasta, mereka yang biasa disebut sebagai “bulok” (bule lokal). “Mana yang asli Indonesia dan mana yang bukan tidak lagi penting karena yang utama adalah gaya.”

Sampai di sini saya akan menyinggung ucapan James Clifford yang mengatakan bahwa kebudayaan tidak lagi mencukupi jika dipahami dalam kaitannya dengan suatu tempat, melainkan akan lebih baik jika ia dipahami dalam term perjalanan. Budaya sebagai suatu perjalanan. Budaya dan orang-orang yang selalu dalam perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain. Cultures as sites of dwelling and travel, to take travel knowledge seriously. Culture as criss-crossing travelers.

Berhubungan dengan konsep perjalanannya Clifford ini, satu contoh lain yang mungkin menarik adalah anak-anak muda yang mengenakan kaos Harvard University, UCLA, atau Hard Rock Café (California) di jalan-jalan di Jakarta atau Yogyakarta. Meski sangat mungkin mereka yang mengenakan kaos-kaos tersebut belum pernah pergi ke tempat-tempat yang tertulis dalam kaos mereka tetapi jelas mereka telah melakukan perjalanan untuk berpegang pada simbol-simbol tertentu tanpa perlu melakukan perjalanan fisik. Berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan kaos Che Guevara atau Osama bin Laden, pertanyaannya adalah apakah ini sekedar lambang fetisisasi atas simbol budaya lain ataukah salah satu cara untuk melokalkan simbol-simbol yang sudah dianggap global? Untuk contoh di atas, tempat-tempat penjualan pakaian-pakaian bekas merupakan media sempurna tempat pakaian-pakaian yang telah melakukan perjalanan panjang dari tempat asalnya berkumpul, tempat anak muda bisa mendapatkan segala jenis pakaian, dan mungkin dengan segala simbol dan atribut “global”, dan mungkin juga model-model pakaian yang tidak sesuai dengan iklim tropis negeri ini. Sweater-sweater tebal, jaket kulit berbulu, dipakai di jalanan panas kota Yogyakarta. Mungkin tampak cocok, mungkin juga tidak. Makna asli pakaian bekas tersebut  telah dikosongkan dan diisi dengan makna-makna baru.

Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang serba terpotong-potong oleh wacana budaya global inilah yang memungkinkan kita untuk melakukan upaya percampuran sekaligus juga menjadi terbuka upaya untuk melakukan peniruan-peniruan. Tetapi tidak lantas peniruan di sini dimaknai sebagai suatu bentuk takluk kepada budaya tertentu atau sesuatu yang katanya datang dari “barat”—yang dalam banyak hal sering mengendap dalam kesadaran kepala kita sebagai “pusat”. Mungkin akan lebih cocok dikatakan bahwa yang terjadi adalah pergantian posisi “pusat” dan “pinggiran”. Dalam konteks ini, akan dapat juga dijumpai peniruan-peniruan yang tidak pada tempatnya, peniruan yang salah tempat, yang tidak cocok dan penuh kejanggalan: suatu kondisi yang pada hakekatnya menyiratkan bahwa berada di “pinggiran” tidak selalu berarti terpinggirkan, karena justru dengan segala kejanggalan itulah posisi “pusat” diguncang, dipertanyakan kembali, sekaligus disesuaikan dan dimanfaatkan sesuai kebutuhannya.

About Author