Kedai Kebun

Arts – Plants – Kitchen

Pemutaran Film “Dichter und Kämpfer” – German Film Club

poster_rz

German Film Club

Rabu, 7 Desember 2016, 19.00 WIB
Ruang Aula, Kedai Kebun Forum
Jl. Tirtodipuran 3, Yogyakarta

Terbuka untuk umum & gratis

mempersembahkan

Dichter und Kämpfer

Sutradara: Marion Hütter, 2011, dokumenter, 89 min., berbahasa  
Jerman dengan subtitle bahasa Inggris

Dibuka dengan pembacaan puisi oleh
[ Djuwadi Ahwal, Andy SW & Komang Ira ]
Penampilan penutupan oleh [ Sasana Hinggil ]

SINOPSIS

Di antara subkultur dan mainstream: Poetry-slam, adu puisi antar penyair muda di atas panggung, kini semakin populer di Jerman. Acara puncak sepanjang tahun adalah penyelenggaraan kejuaraan Jerman – festival sastra panggung terbesar di Eropa. DICHTER UND KÄMPFER mengikuti empat bintang muda ketika tampil dan dalam perjalanan mereka, serta mendokumentasikan gairah sastra yang tidak lazim.

Keesokan pagi mereka membahas keberhasilan acara semalam, masih sambil mengantuk, tetapi dengan penuh semangat: Para peserta adu puisi Julius Fischer, Philipp “Scharri” Scharrenberg, Sebastian23 dan Theresa Hahl. Ketiga laki-laki muda itu sudah pernah meraih gelar juara Jerman, sementara perempuan muda rekan mereka sedang menjelma dari pendatang baru menjadi bintang baru. Film ini akan mengiringi mereka untuk waktu agak panjang, mengikuti bakat dan cita-cita mereka yang berbeda-beda, serta menggali bayangan masing-masing mengenai karier dan pekerjaan. Yang dikedepankan bukan suatu proses kronologis, melainkan serangkaian potret sesaat; pendekatan ini memang tidak menghasilkan struktur yang terpantau dengan mudah. Namun dengan demikian adegan-adegan di dalam film tampak lebih spontan dibandingkan pada waktu direkam.

Sebuah final lomba: Giliran tampil para peserta ditentukan melalui undian. Sebastian23, juara tahun 2008 dan penyelenggara lomba tahun 2010, mendapat giliran pertama – ini kurang menguntungkan karena di awal lomba juri biasanya masih pelit memberi angka. Ia menanggapinya dengan santai: “Aspek lomba tidak terlalu penting bagi saya!” Penampil kedua adalah Julius Fischer, yang merasa menjadi bagian subkultur ini dan juga melihat ancaman komersialisasi dan penyeragaman akibat meningkatnya popularitas adu puisi. Theresa Hahl, sang pendatang baru yang berkesan pemalu, maju sebagai peserta ketiga; sepertinya ia masih suka bingung menghadapi keberhasilannya sendiri dan merasa heran bahwa ia malah dibayar untuk tampil. Baru pada giliran Philipp Scharrenberg, peserta keempat, kamera langsung ikut naik ke panggung: Penampilannya terlihat sangat spontan, tetapi sebenarnya merupakan hasil persiapan yang matang. Ini terlihat dari rima akhir dan variasi tempo yang dimanfaatkannya untuk menyindir hipokondria khas Jerman dengan mengacu kepada kabaret, politik, hip-hop dan lirik. Di rumah ia mensyukuri gelar juaranya dari tahun 2009, namun tetap bersikap skeptis: Baginya, adu puisi tidak ada hubungan dengan uang dan juga tidak cocok sebagai profesi, tetapi ia tetap melihatnya sebagai kesempatan untuk “melampiaskan kreativitasnya”. Penampilannya masih seperti anak muda, dan ia mengejutkan pengamat dengan pengakuan bahwa ia baru mulai tampil ketika telah berusia 30 tahun.

Mula-mula di sebuah taman bermain, kemudian di atas panggung, Julius Fischer dan mitranya Christian Meyer (“Hornisschen Orchestra”) membawakan nomor mereka “Bahndammbrand” (Kebakaran Tanggul Kereta Api). Lagu itu, yang menyerupai deklamasi, berakar pada rap maupun puisi bunyi seorang Ernst Jandl: Bahasa dijadikan permainan, dengan elemen lirik, komedi dan kelakar bunyi eksperimental.

Dalam sebuah lokakarya Sebastian23 menerangkan aturan main kepada para pendengar: Materi yang dibawakan harus merupakan teks karangan sendiri. Tidak diperkenankan membawa alat bantu ke atas panggung, tetapi beatboxing diperbolehkan. Theresa Hahl berjalan-jalan menyusuri sebuah kanal di musim dingin dan menjelaskan: “Ketika menulis pikiran harus jernih dan bersemangat” – sebuah penolakan tanpa tedeng aling-aling terhadap penyalahgunaan narkoba untuk merangsang daya khayal. “Saya kurang patut disebut penyair,” ia mengakui, “seni saya lebih bersifat amatiran!” Dan sebagai contoh ia segera menambahkan: “Saya satu-satunya orang yang masih pindah ke Afrika waktu melintasi zebra cross!” Gambar dalam film lalu beralih bolak-balik: Theresa di jalanan dan di atas panggung, dengan teks diucapkan di kedua lokasi pengambilan gambar tanpa terpotong – sebuah bukti betapa teliti penampilan direncanakan dan dilatih, sebab seandainya tidak demikian, montase seperti ini takkan mungkin dilakukan.

Philipp Scharrenberg tampil di gedung teater “Unterhaus” di Mainz. Ia tidak termasuk aliran puris, sebab di samping menekuni adu puisi ia juga tengah menyiapkan karier sebagai pemain kabaret. Purisme buta memang hal yang asing bagi para “slammer”. Dan sebenarnya judul film ini pun agak menyesatkan: “Petarung” mengisyaratkan militansi dan mungkin juga sebuah ideologi yang paling tidak mengintai di bawah permukaan, tetapi orang-orang muda lebih patut dikatakan sebagai akrobat bahasa dan juga pemimpi, yang mengambil jarak dari para rapper yang agresif dan mencari nada khas sendiri yang cenderung liris, meskipun ini kadang-kadang berkesan sangat ironis. DICHTER UND KÄMPFER diputar di bagian “Perspektive Deutsches Kino” (Perspektif Film Jerman”) pada Berlinale 2012 dan dalam penilaian stasiun tv 3sat kulturzeit “membuka wawasan tentang sebuah genre yang selama ini lebih banyak dikenal oleh orang dalam saja. Sebuah film yang jenaka, otentik, dan menyegarkan karena berbeda.”

Marion Hütter lahir tahun 1968, kuliah sastra Jerman, ilmu politik dan ekonomi di Berlin, merampungkan pendidikan di Sekolah Jurnalis Berlin. Marion Hütter sudah 20 tahun bekerja sebagai jurnalis dan penulis di Berlin, dan telah membuat lebih dari 50 reportase tv dan liputan lain untuk Deutsche Welle, baik di dalam maupun di luar negeri. DICHTER UND KÄMPFER merupakan film dokumenter berdurasi panjang pertama yang dihasilkannya.

Info lebih lanjut hubungi Uniph 0857-2580-9139

About Author