Kedai Kebun

Arts – Plants – Kitchen

Pameran Tunggal “Gombal” oleh Arwin Hidayat

Pameran Tunggal Gombal Arwin Hidayat

“Gombal”

Pameran Tunggal Arwin Hidayat

Pengantar

oleh Agung Kurniawan, Direktur Artistik KKF

Mau tidak mau, batik pernah mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan orang Jawa. Batik sebagai kain tidak hanya punya nilai ekonomi tetapi juga punya nilai simbolik yang sangat kaya. Seperti halnya kebudayaan kain lainnya di nusantara, benda tipis yang terbuat dari serat kapas atau serat lainnya itu, tidak pernah berhenti hanya sebagai sebuah hiasan. Nilainya lebih dari itu. Ketika bayi lahir selembar kain batik akan membungkus tubuhnya, menjadi anak-anak kain batik akan menjadi wahana gendongannya, beranjak dewasa kain batik akan menjadi pelengkap mahar dan pakaian yang digunakannya, ketika akhirnya mati selembar kain batik membungkus tubuh dingin kita. Batik ada pada setiap peristiwa dalam kehidupan kita. Dan ketika sekarang batik menjadi benda seni yang dipamerkan dan dipertontonkan akankah dia bisa menjalankan fungsi lainnya selain penghias dinding?

Seni batik Indonesia yang relatif tenang dan tak bergejolak selama ratusan tahun pada medio tujuh puluh – delapan puluhanan pernah sampai pada titik puncak kepopulerannya. Bersama dengan terbukanya Indonesia sebagai kawasan kunjungan wisata asing dan kebutuhan untuk mencari identitas nasional dalam seni lukis Indonesia, batik seolah mendapat tempat yang terhormat. Dipuja sebagai “puncak” kebudayaan nasional. Batik yang semula adalah kain yang “mengasuh” kehidupan kita, diambil paksa, dilolosi nilai-nilai simbolik kulturalnya: menjadi lukisan. Seperti halnya Barat memaknai lukisan-lukisan di atas kanvas. Dikenallah seni lukis batik, dengan berbagai gaya dan corak seperti halnya lukisan-lukisan modern lainnya. Yang semula dikenakan sebagai kain penutup tubuh, diperlakukan dengan hormat dan hati-hati, diwariskan bahkan sampai bisa dijadikan jaminan hutang, dipentang di atas spanram, disorot lampu kencar-kencar. Setelah sekian tahun diperlakukan seperti itu, perlahan namun pasti seni lukis batik mati. Diawali dengan sekarat lama akhirnya pada sekitar medio pertengahan 90 an, bendera setengah tiang dikibarkan; seni lukis batik Indonesia mati. Bela sungkawa tak berlangsung lama bahkan tak sempat ada karangan bunga.

Arwin Hidayat datang dengan keringat menetes di kening. Rambut panjangnya pun turut lepek, dari dalam tas kreseknya dikeluarkan selembar kain mori bergambar. Saya terkesiap, batik dalam kenangan adalah benda yang setengah suci. Batik milik nenek yang digunakan untuk menutup jenasahnya bahkan diperebutkan oleh anak-anaknya. Arwin dengan tangan berkeringatnya mementangkan lembaran mori putih itu. Ada banyak monster tergambar dalam kainnya. Warna warnanya cerah, tidak ada warna tanah. Saya mencoba menciumnya mencari “bau batik” yang berasal dari bau malam dan rempah pengharum kain tapi semua lenyap tak tersisa. Saya berhadapan dengan kain batik (Arwin tidak menampilkannya dengan spanram yang mementang kain batik itu) tapi jelas bukan kain batik seperti milik nenek. Kain batik Arwin adalah perjumpaan kembali dengan batik setelah sekian dipaksa melihat lukisan batik ala modern itu. Kita tentu bisa memegangnya, menelusuri bekas malam jika ada, mencium bau rempah pengharum kain jika masih tersisa. Ini bukan lukisan yang tak bisa kita pegang. Ini kain batik. Memegang dan mengelus menjadi

keniscayaan. Tentu berbeda dengan kain batik lama yang motifnya dipenuhi semua simbol budaya, yang tidak saja menunjukkan nilai-nilai yang luhur tapi juga feodal dan fasistik. Selembar kain batik kuna adalah kompleksitas budaya dengan seluruh spektrumnya. Dalam kain batik Arwin, sepertinya soal-soal rumit dan membuat kening mengernyit hilang. Figur-figur aneh dan sepintas terasa seperti lukisan-lukisan surealis memenuhi seluruh bidang gambar. Isen-isennya tidak seluruhnya berupa titik atau pola yang berulang, tetapi bentuk-bentuk ganjil yang melayang di sekitar obyek utama. Kain sering dibiarkan putih polos, sehingga monster monster itu semakin jelas terlihat. Pada pameran ini beberapa kain ini akan dipentang di tengah ruang. Angin akan tentu membuatnya bergerak. Ketika kita berjalan melewatinya, kain mori yang halus itu kan menyentuh kulit kita. Bau rempah pewangi kain mungkin sepintas akan tercium, tapi kibasan kain batik yang terkena angin akan membuat obyek-obyek dalam kain itu bergerak seperti animasi. Hidup!

Ini pameran kain batik, tapi bukan kain batik nenek.

Pameran Tunggal “Gombal” oleh Arwin Hidayat

Pembukaan : Jumat, 3 Maret 2017, jam 19:00 WIB
di Ruang Pamer KKF

Pameran berlangsung s.d 31 Maret 2017

Terbuka untuk umum dan GRATIS
Setiap hari jam 11:00 WIB – 21:00 WIB
(KKF tutup setiap hari Selasa)

Info lebih lanjut hubungi Uniph 0857-2580-9139

About Author