“Bualan Ikan: Narasi-Narasi yang Terseret Arus”
Pameran Tunggal – Adi Sundoro “Asun”
Curated by LIR*
Pengantar
Belakangan ini warga Indonesia terpapar dengan berbagai potensi industri kelautan yang seharusnya telah menjadi salah satu sumber pendapatan bangsa sejak beberapa periode pemerintahan berganti. Terpusatnya perhatian masyarakat pada kehidupan yang berada di daratan, serta kemampuan pemerintah pada periode-periode sebelumnya dalam memunculkan kebijakan yang seolah mengesampingkan potensi yang tersimpan di wilayah perairan Indonesia ini membuat warga perlahan lupa atas apa yang mungkin sejak dulu dimilikinya. Jauh sebelum perilaku koruptif dalam menutupi potensi industri kelautan yang dimiliki bangsa ini, pemerintah pernah dan masih menutupi sebuah cerita lain tentang ikan-ikan di sungai maupun di laut. Ikan-ikan yang menjadi pengingat sebuah peristiwa kekerasan yang pada masanya menimbulkan ketakutan massal.
Pada suatu pagi lima puluh tahun yang lalu, sebuah rakit kayu berisi tumpukan mayat dilarungkan di sungai Brantas. Tertancap bendera partai terlarang di atas tubuh-tubuh tak berkepala: sebuah teror dan pesan kematian bagi sebagian orang. Yang terjadi berikutnya menjadi tonggak sejarah yang dramatis, sebuah peringatan tegas bagi siapapun yang menentang kekuasaan baru ini. Di berbagai tempat, air sungai dan laut berubah merah dengan aroma anyir dan tubuh-tubuh membusuk yang terseret arus. Sementara itu, warga sekitar sungai dan laut berhenti makan ikan sejak tersebar desas-desus ditemukannya jari atau potongan tubuh manusia lain di dalam perut ikan.
Sebagaimana bualan ikan yang berlebihan, teror itu sejak awal dibumbui dengan rumor dan kisah-kisah. Konon katanya, partai komunis memiliki daftar orang yang akan dibunuh lengkap dengan kuburan masal dan alat pencukil mata. Konon katanya, anak-anak akan diculik dan dididik ulang seperti yang terjadi di negara komunis lain. Dan konon katanya, jika tidak membunuh—kamu akan terbunuh. Kebencian dan ketakutan terbangun sehingga menciptakan suasana yang makin mencekam. Tintrim, sebelum histeria massal dimulai dan gelombang ketakutan ini digunakan untuk meraih kekuasaan pemerintah yang baru.
Pembantaian besar-besaran ini terjadi karena dua hal: sebagai konsekuensi dari konflik horizontal karena masalah agraria di pedesaan bersamaan dengan agitasi masyarakat akibat krisis moneter; kedua, kejahatan terstruktur dari negara dan perintah pemberantasan partai komunis hingga ke akar-akarnya. Sebagaimana desas-desus yang tidak pernah jelas di awal, angka jumlah korban pun tidak pernah terhitung dengan pasti. Meskipun demikian, statistika adalah hal dingin yang menjadikan manusia angka dan hitungan. Jejak trauma dan perasaan bersalah turun temurun yang menyertai tidak terhitung di dalamnya.
Bertahun-tahun setelah pembantaian besar-besaran itu terjadi, perasaan ini berkembang menjadi mitos dan cerita hantu untuk menormalisasi trauma masa lalu dari kedua belah pihak. Dari dalam gua terdengar jeritan meminta tolong, derap langkah rapi terdengar bersamaan dengan penampakan orang berbaris tanpa kepala di hutan-hutan, dan hantu-hantu penasaran bergentayangan di atas jembatan. Masyarakat tidak berani mendekati tempat-tempat angker ini dan tidak berani membicarakan apa yang terjadi sebelumnya. Narasi yang seragam terus diulang. Butuh kampanye bertahun-tahun supaya masyarakat tidak lagi takut makan ikan. Berangsur-angsur narasi atas sejarah, trauma, dan hal-hal lainnya pun ikut terlupakan—terseret arus hingga jauh tersembunyi di dasar laut dan sesekali mewujud sebagai hantu-hantu masa lalu.
Tentang LIR X KKF
Pada suatu pagi lima puluh tahun yang lalu, sebuah rakit kayu berisi tumpukan mayat dilarungkan di sungai Brantas. Tertancap bendera partai di atas tubuh-tubuh tak berkepala: sebuah teror dan pesan kematian bagi sebagian orang. Yang terjadi beberapa bulan berikutnya menjadi tonggak sejarah yang dramatis, sebuah peringatan tegas bagi siapapun yang menentang kekuasaan baru. Warga sekitar sungai berhenti makan ikan sejak desas-desus ditemukannya jari atau potongan tubuh manusia lain di dalam tubuh ikan-ikan.
Tujuh belas tahun berselang sejak rakit berisi mayat dilarungkan, ditemukan mayat-mayat baru dengan luka tembak di pinggir gang perkotaan, di hutan sepi, di dalam karung dekat tempat sampah. Kelompok preman dan gali yang dulunya merupakan alat kekuasaan untuk menyebar teror dan ketakutan lah yang dibasmi. Hubungan yang awalnya sekedar bisnis berkembang menjadi alat bagi negara memamerkan kekuatannya dengan alasan memelihara ketertiban, keamanan, dan memberikan perlindungan bagi masyarakat dengan tindakan yang tegas.
Beberapa saat setelah rezim itu jatuh, ketakutan yang dulunya menjadi alat mempertahankan kekuasaan kini menjadi lahan bisnis baru. Warga membangun pagar tinggi di sekitar rumah dan jalan masuk, para pengembang menciptakan ruang aman dengan satu pintu utama dengan pengawasan ketat, satpam memeriksa kartu identitas tamu, gerbang dikunci rapat saat gelap, kecurigaan terhadap orang-orang yang bukan warga setempat meningkat. Semakin tinggi harga yang siap dibayarkan, semakin tinggi keamanan bagi mereka dengan trauma komunitas yang diturunkan. Dua puluh tahun kemudian, pagar-pagar ini tetap ada sebagai monumen ketakutan yang nyaris kehilangan akar ingatannya. Ruang memori yang lama-kelamaan membentuk bahasa visual sebuah tempat dan menjadikannya pemandangan sehari-hari. Bagaimanapun, memori adalah kontestasi. Memori kolektif akan terus berganti setiap kekuasaan berganti.
Permainan politik ketakutan, atau scaremongering, mempengaruhi masyarakat melalui dorongan purba mekanisme pertahanan hidup. Masyarakat yang selalu berada dalam kondisi ketakutan mudah dikendalikan, gesekan sosial mudah dipicu, dan kebencian komunal mudah diarahkan oleh negara untuk merespon sasaran dengan identitas tertentu. Teror diperkuat dengan rumor dan kisah-kisah. Kisah-kisah berkembang menjadi mitos dan cerita hantu untuk menormalisasi trauma masa lalu. Kekuasaan menggunakan gelombang ketakutan ini untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Dalam seri pameran tunggal LIR x KKF kali ini, kami mengundang tiga seniman muda untuk menyajikan respon mereka atas teror dan trauma kolektif saat kebangkitan Orde Baru, saat keresahan masyarakat meningkat dan kepercayaan perlu dikembalikan, dan pada saat kejatuhan rezim tersebut. Narasi seri ini berjalan mundur dan menyajikan ketakutan dalam tiga variasi pameran tunggal: Edita Atmaja yang membicarakan tentang bisnis ketakutan paska 1998; Arief Budiman yang membicarakan tentang adegan yang hilang dari tahun 1982 – 1985; dan Adi Sundoro tentang ketakutan makan ikan sekitar tahun 1965.
Tentang Adi Sundoro “Asun”
Lahir di Jakarta, 16 Januari 1992. Menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas Negeri Jakarta, Jurusan Pendidikan Seni Rupa. Tergabung dalam Grafis Huru Hara sejak tahun 2014, dan tergabung dalam divisi program. Selain aktif di Grafis Huru Hara, juga bekerja paruh waktu sebagai pegrafis professional khusus teknik cetak letterpress di salah satu studio kreatif di Jakarta. Kecintaan Asun terhadap seni grafis membuat dirinya berkarya dengan berbagai macam eksplorasi teknik yang ada. Mulai dari cetak tinggi, dalam, saring, hingga teknik alternative cetak datar kitchen lithography. Pertemuan antara torehan drawing pada plat cetak, eksplorasi teknik, dan presentasi yang meninggalkan pakem konvensional seni grafis dapat ditemui pada karyanya. Asun kerap membicarakan persoalan potensi sumber daya alam dan kaitannya dengan keberlangsungan hidup manusia pada aspek geografi, politik, ekonomi dan sosial. Karyanya telah banyak dipamerkan baik di dalam maupun luar negeri, di antaranya; To Give and To Expect Nothing in Return, National Museum of Modern and Contemporary Art, Seoul – South Korea (2018), Pekan Seni Grafis Yogyakarta, Jogja National Museum, Yogyakarta (2017), Bongkar Muat; Jakarta-Surabaya Emerging Artist Exhibition, Ruru Gallery, Jakarta (2016) Art Up! Contemporary Art Fair, Lille Grand Palais, Perancis (2016), Jogja International Miniprint Biennale, Sangkring Art Space, Yogyakarta (2016), Hong Kong Graphic Art Fiesta, “Xin Yi Dai; An International Student Print Exchange Exhibition”, Koowloon, Hong Kong (2014), Asian Student and Young Artist Art Festival (ASYAAF) 2014, Seoul, Korea.
Pameran Seni Rupa “Bualan Ikan: Narasi-Narasi yang Terseret Arus” oleh Adi Sundoro
Pembukaan: Jumat, 15 November 2019, jam 19:00 WIB
di Ruang Pamer KKF
Pameran berlangsung s.d 29 November 2019
Terbuka untuk umum dan GRATIS
Setiap hari jam 11:00 WIB – 21:00 WIB
(KKF tutup setiap hari Selasa)
Desain poster oleh Fitro Dizianto