Kedai Kebun

Arts – Plants – Kitchen

FROZEN CITY – Pameran Foto – Edwin “Dolly” Roseno Kurniawan, Ruang Pamer KKF, 10 Juni – 4 Juli 2009, Pembukaan Rabu, 10 Juni 2009, jam 19:30 WIB

FROZEN CITY

Ketika kecil kota selalu saya bayangkan bagai gugusan kubus. Satu kubus dan lainnya dihubungkan dengan jembatan layang. Diantara jembatan layang dan kubus-kubus itu ratusan helikopter atau pesawat berbaling-baling hilir mudik. Saya sedang membayangkan kota masa depan tentu saja. Khayalan waktu kecil tiga puluh tahun yang lalu tetap tak terwujud hingga sekarang. Kota bukanlah gugusan kubus, tidak ada jembatan layang yang bersilang sengkarut, tidak ada helikopter menggantikan mobil. Kota Yogyakarta (sebagian) masih seperti 30 tahun yang lalu. Ada perubahan tentu saja. Lebih banyak mobil dan sepeda motor tapi secara fisik tidak jauh berbeda.

Apakah kota ini telah membeku?

Dolly (Edwin Roseno, 29 th) memilih untuk menamai pameran tunggalnya di Kedai Kebun dengan Kota (di)Beku (kan)/Frozen City. Jangan-jangan Dolly mempunyai mimpi yansg sama dengan saya ketika ia kecil. Atau bisa jadi dia menyimpulkan itu semua dari potret-potret yang telah ia buat. Seluruhnya mengambil tempat di Yogyakarta. Sebuah kesimpulan setelah sekian lama berkelana dengan motornya ke bagian-bagian paling rumpil dari kota yang dipanggil oleh Rendra dengan sebutan kasur tua.

Bisa jadi kota ini beku tapi tidak dibekukan. Kota selayaknya organisma selalu bergerak dan berubah. Yang membedakan satu dan lainnya adalah kecepatan perubahan itu sendiri. Yogyakarta di sebagian wilayah lambat berubah tapi diwilayah lain terlalu cepat. Daerah Selokan Mataram adalah sebuah contoh wilayah yang paling berkembang di Yogyakarta. Sewaktu kuliah di akhir delapan puluhan, daerah ini adalah sarang penyamun dan begal-begal durjana. Sekali kita lengah, lewat di daerah ini terlalu malam, bisa jadi kita pulang hanya dengan menggunakan celana dalam. Sebaliknya sekarang jika pulang kemalaman dan lewat daerah ini, bisa jadi anda mati kekenyangan atau mabuk berat karena banyaknya warung dan bar penjualan minuman keras oplosan yang selalu menggoda untuk kita untuk mampir.

Perubahan itu terjadi cepat, mungkin hanya dalam hitungan beberapa tahun. Daerah senyap tiba-tiba jadi riuh rendah. Tapi ada yang ternyata tak berubah. Foto serie Dolly tentang coca cola (Beyond Coca Cola, 2006) menyiratkan itu. Seonggok warung minuman bersoda itu di tengah segala sesuatu yang bergerak; cepat atau lambat. Bayangan orang yang bergerak membuat merek minuman ternama itu terabaikan. Tak diperhatikan. Akan tetapi sebagai sebuah entitas kapitalis dia tetap saja mencuri perhatian. Tanpa kita memperhatikan pun sistem ini (diam-diam) memberangus. Bekerja seperti kanker mengerogoti kita dari jam ke jam, membuat semakin ketagihan atas kenikmatan semunya, seperti LSD. Kapitalisme global bekerja sampai ke titik terjauh dari pusat dimana ia diciptakan. Titik itu bagai selang yang menyedot kemakmuran dari negara-negara paria ke negara kaya, terus menerus, detik ke detik. Kita disedot sambil senyum kesenangan, seperti oral seks: korban yang berbahagia. Foto itu bisa jadi tidak berbicara sejauh itu. Akan tetapi godaan tanda: coca cola, kilatan orang bergerak, dan sepintas rerimbunan daun hijau menggiring saya ke arah itu: batu beton kapitalisme yang keras membatu ketika semua hancur seperti kerikil.

Foto-foto Dolly berbicara tentang kota, dengan semua detil wajahnya. Pagi, siang, malam semuanya terekam. Kota yang dibekukan oleh cahaya yang terekam di kotak hitam berpenjera. Apa lagi yang mau kita cari darinya?
Tidakkah kota ini sudah terlalu lelah?

(Agung kurniawan / Direktur Artistik)

artist’s statement

Kota adalah bagian dari integritas sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dengan banyak  persoalan rumit didalamnya. Yogyakarta menjadi pilihan saya sebagai ruang dan interaksi untuk berkarya dengan menggunakan medium fotografi karena saya adalah salah satu dari ratusan seniman yang menggagas visual tentang kota sebagai bagian dari aktivitas berkeseniannya, dengan memilih sudut pandang personal, keseharian dan sering saya lihat tentang kota ini.

Persoalan dalam hal ini menjadi persoalan pribadi sejak saya memutuskan untuk tinggal di kota ini yaitu tentang relasi, aktifitas, mobilitas, ikon, gaya hidup dan tentu saja hal hal yang menarik dalam sudut pandang mata saya, karena proyek proyek seni yang saya kerjakan hampir selalu berhubungan dengan keberadaan dan keterikatan saya terhadap kota ini.

Proyek fotografi ini tidak sepenuhnya menggambarkan perkembangan Yogyakarta secara detail, hanya fragmen fragmen pendek ketika saya melihat ada sesuatu yang memotifasi saya untuk menghentikan sepersekian detik kecepatan gerak, ritme dan rutinitas Yogyakarta sebagai kota yang selalu berkembang dengan medium yang selama ini saya tekuni dan seriusi.

About Author