Kedai Kebun

Arts – Plants – Kitchen

Dialita, Teratai di Atas Lumpur

20160929-edit-bright-resize-dialita-tiba-di-jogja-langsung-latihan
Foto: Dok. KKF

Pengalaman pahit tidak selamanya berakibat keterpurukan. Paling tidak itu yang tercermin dari perempuan-perempuan ini. Mereka menamakan diri Dialita, singkatan dari Di Atas Lima Puluh Tahun, usia kebanyakan anggotanya. Sebuah paduan suara yang anggotanya para perempuan korban, keluarga, atau kerabat dari Tragedi 1965. Peristiwa yang lahir oleh tekanan Orde Baru yang menuding mereka terlibat gerakan komunis tanpa ada pengadilan dan penyelesaian dari negara, pun setelah rezim itu tumbang.

Lagu-lagu Dialita sejatinya adalah nada-nada terlarang, berkisah tentang peristiwa politik 1965. Lagu yang diciptakan dengan diam-diam yang kemudian dibungkam dipaksa bisu. Ditulis para tahanan politik dari balik tembok penjara, kamp pembuangan, atau pulau pengasingan. Layaknya sebuah buku sejarah, Dialita bercerita melalui lagu-lagunya tentang apa yang terjadi di negara ini kala itu agar tidak terlupakan begitu saja.

Dialita pada awalnya adalah bagian dari “Keluarga Dalam Sejarah 1965”, yaitu para survivor Tragedi 1965. Bermula dari berkumpul dan berbagi pengalaman dan juga saling menguatkan, paduan suara ini lahir. Dibentuk secara kolektif pada 2011, dua anggota paduan suara Dialita adalah eks tahanan politik Tragedi 1965.

Album perdana Dialita belum lama ini diluncurkan. Pada tanggal 1 Oktober 2016, di Kampus Sanata Dharma Yogyakarta, di bawah beringin Soekarno dan rintik hujan. Album ini diberi judul Dunia Milik Kita. Terdiri dari 10 lagu dan melibatkan sejumlah musisi di antaranya Frau, Nadya Hatta, Lintang Radittya, Cholil Mahmud, Sisir Tanah, Prihatmoko Catur, dan Kroncongan Agawe Santosa. Diproduseri Agung Kurniawan, direktur artistik Kedai Kebun Forum yang juga seorang perupa, dan Wok The Rock, seorang kurator dan anggota ruang kolektif seniman MES56, album ini diharapkan menjadi monumen, prasasti, pengingat kebenaran sejarah masa lalu.

Meski usia mereka tak lagi muda, namun semangat ibu-ibu Dialita masih membara. Hal ini terlihat saat mereka tampil di Biennale Jogja, November 2015 lalu, dan belum lama ini di sesi latihan peluncuran album pada 29 dan 30 September 2016 di aula Kedai Kebun Forum. Semangat itu pula yang menghidupi mimpi sederhana mereka yaitu untuk mengumpulkan serpihan sejarah yang terserak, merangkai, dan menunjukkan kepada dunia dengan bernyanyi. |Yumaya Mija|

About Author